Senin, 11 Maret 2013

SEJAK digulirkan sebagai kompensasi dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga saat ini, persoalan buruknya kualitas Beras Miskin (Raskin) tak pernah bisa diselesaikan. Anehnya, persoalannya masih seputar itu-itu saja, yakni berasnya berulat, berkutu, bau apek, dan timbangannya kurang.

Fakta tentang buruknya pengelolaan Raskin, akhir-akhir ini kembali mengemuka diberbagai daerah. Seperti hal-nya yang terjadi dilingkungan RW.03, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Garut, Jawa Barat kemarin. Para Ketua RT di lingkungan RW.03, mengeluhkan susutnya jumlah Raskin yang mereka terima. Penyusutan itu tentu saja sangat merugikan Keluarga Miskin (Gakin) penerima manfaat Raskin.
Ketua RT.08, Saepuloh menuturkan, Raskin yang mereka terima rata-rata susut 2-2,5 Kg per karung isi 15 Kg. Hal senada juga diungkapkan ketua RT.03, Endang. Penyusutan dari setiap karung raskin dinilainya sangat tidak wajar. Sebab, kalau pun karung Raskin tersebut bocor, sepertinya tidak akan sebanyak penyusutan yang ada.
Tidak hanya itu, persoalan buruknya kualitas beras Raskin juga dikeluhkan warga Gang Anggrek, Lingkungan IV, Kelurahan Brandan Timur Baru, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Warga kecewa karena mendapatkan jatah raskin tidak layak konsumsi (Tidak Memenuhi Syarat-TMS). Sebelumnya, buruknya kualitas Raskin juga dikeluhkan warga miskin di Waylima, Kabupaten Pasawaran, Provinsi Lampung.
Lalu apa gerangan yang membuat persoalan buruknya kualitas Raskin tidak pernah bisa diselesaikan? Butuh teknologi canggih seperti apa untuk mengelola Raskin agar tidak susut di gerogoti ulat dan kutu?
TIDAK”. Sejatinya pengelolaan beras itu tidak membutuhkan tekhnologi canggih, selain dari komitmen yang kuat. Karena, orang Baduy di Provinsi Banten, tidak membutuhkan tekhnologi canggih untuk mengelola gabah hasil panen mereka. Faktanya, beras mereka tetap saja layak dikonsumsi meskipun sudah bertahun-tahun disimpan.
Begitu pula dengan orang Donggo di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Mereka tidak membutuhkan anggaran besar untuk mengelola gabah hasil panennya. Mereka tidak memerlukan tekhnologi canggih atau sekedar pumikasi untuk menjaga agar gabah mereka selamat dari gerogotan kutu dan ulat. Tapi tetap saja beras mereka berkualitas tinggi meskipun sudah bertahun-tahun disimpan dalam lumbung.
Tapi kenapa beras Raskin yang dikelola Perum Bulog masih saja ada yang berkutu, berulat dan susut? Benarkah begitu sulitnya mengelola beras Raskin? Tentu saja semua pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Perum Bulog dengan kerja keras menggapai angan-angan sebagai perusahaan “Andalan Ketahanan Pangan Nasional”. Sebab jika tidak, maka bukan tidak mungkin publik akan menduga, bahwa kutu dan ulat itu adalah gambaran dari begitu buruknya tata kelola Raskin oleh Perum Bulog.
Parahnya lagi, jika Perum Bulog tidak segera mengatasi persoalan buruknya kualitas Raskin, maka bukan mustahil kelak publik akan beranggapan, bahwa kutu dan ulat itu “sengaja dipelihara” sebagai perwakilan dari kutu dan ulat yang sebenarnya. Naa’udzubillaaminzaliq, semoga saja Publik dan Gakin tidak akan pernah beranggapan seperti itu. (Redaksi)*

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung