Kamis, 17 Juli 2014
Demi ‘Uang’ Demokrasi Dirusak
JAKARTA - Mencoloknya hasil
survey dari sejumlah lembaga survey atas hasil pemungutan suara Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 ini, memunculkan berbagai reaksi dan pendapat dari
sejumlah elemen bangsa, salah satunya Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta
(IEPSH).
Rektor Universitas Perbanas, Marsudi W Kisworo, yang hadir sebagai
salah satu narasumber menyebutkan, metodologi survei dalam meneliti suara
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bisa menimbulkan dua kesalahan yang
berakibat tidak validnya hasil survei. "Metodologi survei bisa menimbulkan
dua kesalahan, yakni dari pengambilan sampel dan kredibilitas surveyor," katanya.
Kata Marsudi, dari sisi sampel, seluruh lembaga survei yang meneliti perolehan suara Pilpres harus mengambil sampel yang bisa merepresentasikan keadaan sesungguhnya. "Dalam Pilpres 2014, mayoritas lembaga survei menggunakan 2.000 TPS sebagai sampel surveinya. Tapi apakah 2.000 TPS itu benar bisa mewakili lebih dari 500.000 TPS di seluruh Indonesia," ungkapnya.
Dicontohkan, jika dari total 500.000 lebih TPS di seluruh Indonesia
terdapat sekian persen TPS milik populasi suku tertentu, maka dari 2.000 TPS
yang menjadi sampel juga harus menunjukkan persentase yang sama pada suku
bersangkutan. "Artinya dari 500.000 TPS itu dikecilkan saja menjadi 2.000,
tanpa mengubah persentase perbandingannya. Apakah selama ini lembaga survei
sudah benar atau salah menentukan sampel?," imbuhnya.
Begitu pula dari sisi surveyor. Kata dia, sangat besar kemungkinan adanya keberpihakan dari petugas survei di lapangan yang mempengaruhi hasil survei tersebut. "Petugas survei itu bisa saja memihak. Itu kan sulit dikontrol. Yang jahat itu bukan quick count, karena itu ilmu. Tapi yang jahat adalah penggunanya yang memanfaatkan untuk kepentingan tidak baik," tegasnya.
Begitu pula dari sisi surveyor. Kata dia, sangat besar kemungkinan adanya keberpihakan dari petugas survei di lapangan yang mempengaruhi hasil survei tersebut. "Petugas survei itu bisa saja memihak. Itu kan sulit dikontrol. Yang jahat itu bukan quick count, karena itu ilmu. Tapi yang jahat adalah penggunanya yang memanfaatkan untuk kepentingan tidak baik," tegasnya.
Sementara analis politik, Adhie Massardi mengungkapkan kesedihannya melihat
lembaga-lembaga survei yang makin merusak demokrasi Indonesia. Mereka
memanfaatkan demokrasi yang sedang tumbuh sebagai ladang bisnis semata. "Hanya
untuk uang, dan karena uanglah mereka lakukan survei. Padahal ada empat UU yang
bisa membuat lembaga survei bisa dipidana karena karakternya bisnis, bisa
dibayar," ucapnya.
Ia juga menjelaskan, masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan survei
bayaran dan tidak punya trend untuk
membiayai sendiri survei yang dilakukan."Contohnya, kalaupun survei dari exit poll, apa benar yang disurvei itu
sudah sesuai DPT? Lalu form C1, kalau
asli jumlahnya, apakah sudah sama dengan DPT-nya? Ini saja sudah masalah dan
hampir di semua TPS ada kasus seperti itu. Jadi, quick count hanya mempercepat kesalahan." jelasnya.
Karenanya, sejauh ini Adhie menilai, quick count tak lebih dari propaganda untuk membangun opini publik. "Yang harus dipertanyakan, apakah lembaga survei punya standar moral yang bisa kita percaya? Saya pastikan tidak, karena mereka sudah kehilangan moral dan integritas, jadi tidak bisa dipercaya," tegasnya.
Karenanya, sejauh ini Adhie menilai, quick count tak lebih dari propaganda untuk membangun opini publik. "Yang harus dipertanyakan, apakah lembaga survei punya standar moral yang bisa kita percaya? Saya pastikan tidak, karena mereka sudah kehilangan moral dan integritas, jadi tidak bisa dipercaya," tegasnya.
Narasumber lainnya, Khairil Anwar Notodiputro, Guru Besar Statistika
IPB, Ketua Kelompok Peneliti Survey
Research Methodology menyatakan keprihatinannya, dan berharap agar semua
pihak dapat menahan diri. Ia berharap, masyarakat dapat menyikapi perbedaan hasil
quick qount dengan beberapa
perspektif, yakni quick qount sebagai
ranah ilmiah, sehingga pelaksanaannya harus mengedepankan nilai-nilai etika,
integritas, objektivitas, dan kebenaran, dan quick qount dengan tujuan untuk menduga parameter populasi, yaitu
persentase perolehan suara secara keseluruhan. Parameter itu belum diketahui
sampai saatnya nanti diumumkan oleh KPU.
Ia juga menjelaskan, bahwa quick
qount merupakan survei. Karenanya, agar hasilnya bisa dipercaya, maka harus
memenuhi dua prinsip, yakni sample-nya
harus representatif dan cukup jumlah. Yang ke-4, katanya, hasil dari quick qount merupakan dugaan terhadap
perolehan suara yang sesungguhnya dari peserta pemilu. Karena hasil quick qount merupakan dugaan, maka sudah
pasti ada kesalahan di dalamnya, yang disebut sebagai error.
Ke-5, kata Khairil, quick qount
harus tunduk pada sifat-sifat survei, yakni mengandung sampling error. “Semakin besar ukuran contoh, semakin kecil galat percontohannya; hasil dari satu
survei ke survei yang lain hampir pasti berbeda; berpotensi mengandung bias
jika salah merancang pengambilan contohnya. Quick
qount juga ibarat dadu bersisi tiga, yang masing-masing mencerminkan ukuran
contoh, tingkat kepercayaan, dan sembir
galat,” jelasnya seperti dilansir republikaonline
kemarin.
Ke-7, lanjut Khairil, jika selisih perolehan suara dari suatu quick qount lebih kecil atau sama dengan dua kali sembir galat, maka hasil dari quick qount itu tidak akan mampu membedakan mana yang menang dan mana yang kalah, atau bersifat inkonklusif. “Hasil yang inkonklusif ini tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa quick qount tersebut salah. Ke-9, quick qount jika dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar, akan memberikan hasil yang memuaskan, tepat dan teliti dan terukur. (Redaksi)*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar