Senin, 28 September 2015
Oleh: Prof. Dr. M. Maksum Machfoedz
LUAR BIASA! Ada kado
istimewa untuk petani di Hari Tani Nasional (HTN) kali ini. Peringatan diundangkannya
UU No 5/1960 yang dikenal Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), petani harus
menerima keputusan pemerintah yang disampaikan Wakil Presiden untuk importasi
1,5 juta ton beras Thailand. Padahal peringatan diundangkannya UUPA tersebut
disebut Bung Karno dalam Inpres 193/1963 sebagai Hari Kemenangan Rakyat Tani.
Importasi dan eksportasi adalah perihal yang tidak istimewa. Dia adalah
bagian dari praktik tataniaga yang lumrah antar negara, terlebih pada zaman
globalisasi dewasa ini. Persoalannya menjadi berbeda manakala diukur secara
politis sebagai janji Pemerintah RI dan berkenaan dengan beras sebagai
komoditas paling strategis dan super politis.
Dengan sangat terukur, publik mempertanyakan kinerja Bulog dan Kabinet
Kerja. Pertanyaan mendasar terletak pada alasan yang memaksa keputusan
importasi diambil, yaitu alasan Elnino dan keterbatasan stok Bulog untuk
cadangan beras bagi Rakyat Miskin (Raskin). Elnino tentu adalah kehendak
Illahiyah. Akan tetapi, keterbatasan stok sepenuhnya adalah persoalan salah
urus logistik. Keterlambatan pengadaan pada musim panen raya Maret-April adalah
biang kegagalan pengelolaan logistik untuk pangan paling politis ini. Meski
sebenarnya waktu itulah kesempatan pengadaan domestik terbesar selama ini.
Berkaitan kinerja pengadaan perberasan Indonesia memang dilanda kisruh
pada awal 2015 ditandai dengan kenaikan harga sampai 30% dalam waktu mingguan. Harga
kembali normal akhir Maret ketika mulai panen raya. Akan tetapi harga pasar
masih bertengger jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagaimana
diamanatkan Inpres No 5/2015 tentang Perberasan. Dengan ketentuan HPP sebesar
Rp 3.700/kg untuk gabah kering panen (GKP), RP 4.600/kg untuk gabah kering
giling (GKG), dan Rp 7.300/kg untuk beras.
Kemampuan pengadaan Bulog harus mengingat ketentuan HPP. Sementara di
lapangan, besarnya harga ketika itu senantiasa lebih besar dari HPP, nyaris di
seluruh kawasan panen raya. Kecelakaan pengadaan waktu itu pun masih harus
diwarnai rivalitas pengadaan, domestic
procurement, dengan keberanian membeli pihak swasta pada titik-titik harga
yang lebih besar dari HPP. Keterbatasan operasional Bulog telah pula
mengakibatkan iktikad kolektif pihak swasta melakukan pembelian,
karena bisa diramalkan bahwa harga akan bagus kemudian hari. Kulminasi krisis pengadaan adalah terbatasnya realisasi caturwulan pertama, yang mestinya potensi pengadaan terbesar, hanya berhasil dilakukan pengadaan tidak lebih dari 500.000 ton, kurang dari 20% target pengadaan 2015 sebesar 2,75 juta ton beras. Memblenya pengadaan musim ini telah melahirkan kritik bahwa pengadaan dalam negeri 80% selanjutnya mustahil terealisasi, 2015. Akibatnya, cadangan Bulog pasti problematik dan kapasitas pengendalian harga melalui Operasi Pasar (OP) dan cadangan raskin bisa diramalkan terseok-seok.
karena bisa diramalkan bahwa harga akan bagus kemudian hari. Kulminasi krisis pengadaan adalah terbatasnya realisasi caturwulan pertama, yang mestinya potensi pengadaan terbesar, hanya berhasil dilakukan pengadaan tidak lebih dari 500.000 ton, kurang dari 20% target pengadaan 2015 sebesar 2,75 juta ton beras. Memblenya pengadaan musim ini telah melahirkan kritik bahwa pengadaan dalam negeri 80% selanjutnya mustahil terealisasi, 2015. Akibatnya, cadangan Bulog pasti problematik dan kapasitas pengendalian harga melalui Operasi Pasar (OP) dan cadangan raskin bisa diramalkan terseok-seok.
Ketika data pengadaan dicermati ulang pada akhir Agustus 2015, ternyata
betul adanya bahwa kendati pengadaan sudah digenjot, realisasinya masih berada
pada angka 57%. Kelambanan pengadaan semester pertama sebenarnya yang
mengakibatkan rendahnya capaian ini,dan ancaman Elnino menjadi pembenar bahwa
sejumlah 47% target pengadaan selanjutnya musykil terealisasi sampai pengujung
2015. Dinamika itulah dibalik importasi. Perlu hati-hati mencermati beberapa
fakta yang diungkapkan.
Kelambanan pengadaan adalah biang segala importasi ini. Faktanya, harga
pasar ketika panen raya sekalipun selalu berada di atas HPP. Pertanyaannya:
HPP terlalu rendah atau harga pasar terlalu tinggi? Ketika teramati bahwa
fenomena tersebut adalah fenomena kebanyakan dan di masa panen raya, sangat
bisa disimpulkan bahwa HPP dalam Inpres 5/2015 ternyata terlalu rendah, dan
harus disesuaikan.
Persoalan kedua yang menjadi pembatas Inpres 5/2015 adalah tidak
proporsionalnya HPP beras dan HPP Gabah Kering Giling (GKG). Proporsi itu hanya
benar ketika rendemen perberasannya 67- 68%. Dan angka ini tidak pernah ada
dalam analisis laboratorium maupun penggilingan manapun.
Alhasil, Inpres dimaksud memang problematik karena kekuatan akademisnya
pas-pasan. Akan tetapi tidak boleh lantas menjadi alasan Bulog untuk berlamban
diri dan membesar-besarkan HPP. Ketika pihak swasta berani melakukan pengadaan
di atas HPP, mengapa Bulog dalam fungsi komersialnya
tidak berani? Sungguh tidak ada alasan apapun untuk urusan pengadaan dalam negeri ketika harus menaati Jokowi untuk swasembada beras 2019.
tidak berani? Sungguh tidak ada alasan apapun untuk urusan pengadaan dalam negeri ketika harus menaati Jokowi untuk swasembada beras 2019.
Penulis
adalah: Guru Besar FTP UGM, Ketua PBNU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar