Selasa, 20 Oktober 2015


Lakukan Slowdown, Bulog Bisa Dituding Sabot Nawacita

Oleh: Ir. S. Indro Tjahyono
SATU tahun sudah usia Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) dibawah pemerintahan Jokowi-JK dan di bawah naungan Nawacita. Pertanyaannya, sudahkah Bulog mampu mewujudkan kedaulatan pangan? Apakah Bulog berhasil mengemban amanah Presiden Jokowi untuk mewujudkan prinsip-prinsip zero importation?

Setali Tiga Uang
Merinding bulu kuduk kita menjawab pertanyaan itu. Karena Bulog sekarang masih setali tiga uang dengan Bulog sebelumnya. Beberapa indikator penting yang menunjukkan Bulog belum berubah terlihat dari status perusahaan dari Bulog sebagai badan usaha benar-benar membebani Bulog, sehingga tidak bisa meninggalkan wataknya sebagai perusahaan pencari untung. Dengan statusnya itu, Bulog mudah dikendalikan untuk kepentingan pihak ketiga dalam mewujudkan bisnisnya.

Status tersebut akan membuat Bulog tabu untuk menyatakan keberpihakannya kepada petani, apalagi melakukan “proteksi dan subsidi”. Dengan demikian Bulog juga berada dalam posisi tidak perlu mengendalikan harga pangan menjadi murah.

Dengan statusnya sebagai badan usaha (milik negara-red),bukan badan layanan umum (BLU), maka “bisnis kecil” di internal Bulog akan tetap marak terjadi. Yang dimaksudkan adalah bisnis sampingan oknum Bulog dalam melakukan manipulasi kadar air, timbangan, derajat sosoh, kandungan menir (broken), serta transaksi-transaksi lain dalam pengadaan dan distribusi.

Selain itu, Bulog pun masih dapat menyembunyikan berbagai agenda terselubung (hidden agenda) di balik kebijakan ekonomi dan alasan-alasan bisnisnya. Misalnya memasang harga rendah dan tunggal serta memperlambat menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), meniadakan audit rutin atas stok, menetapkan kualitas gabah/beras, serta memanfaatkan kebijakan untuk memberi peluang bisnis bagi pihak ketiga.

Kemudian, dengan paradigmanya sebagai badan usaha, Bulog akan tunduk pada prinsip-prinsip neolib (neoliberalism), yakni memandang pangan sebagai benda ekonomi (komoditas) semata, bukan sebagai benda sosial, yakni pangan bagian dari hajat hidup orang banyak. Bulog seharusnya mempertahankan nilai gizi beras yang didistribusikan, bukan beras raskin yang hanya layak dijadikan pakan ternak.

Beberapa indikator tersebut merupakan hambatan utama, yang membuat Bulog gagal mewujudkan kedaulatan pangan dan Nawacita. Bahkan, selama satu tahun di bawah pemerintahan Jokowi-JK, Bulog kurang responsif terhadap kondisi stok dan dinamika harga gabah/beras yang terjadi di lapangan. Kendati telah dua kali Direktur Utama (Dirut) diganti dalam satu tahun, kinerja Bulog dalam penyediaan beras dan menciptakan kesejahteraan petani masih dipertanyakan.

Mitos bahwa Bulog berusaha sekuat tenaga menampung produksi gabah/beras ternyata hanya isapan jempol belaka. Padahal Bulog telah bekerjasama dengan TNI untuk menjaga stok. Namun pada saat Danrem di provinsi Nusa Tenggara Barat berhasil menyiapkan gabah/beras petani, dengan berbagai alasan, Bulog justeru menolak.

HPP sebagai Sumber Malapetaka
Kinerja Bulog yang kurang responsif dan loyo, bisa menimbulkan tudingan bahwa Bulog secara sengaja tengah menjalankan skenario pelemahan institusi, sehingga peluang untuk mengahalalkan impor beras dan berlangsungnya liberalisasi pangan terbuka lebar. Masalahnya, selama hampir 50 tahun lebih, Bulog tidak mengakumulasikan pengalamannya menjadi “ilmu pangan” yang paripurna sebagai modal untuk memperbaiki kebijakan-kebijakannya. Di lain pihak, kinerja Bulog dalam pengawasan, seperti monitoring, supervising, controlling, dan auditing dibiarkan terus mengendor.
Kelangkaan stock yang terjadi pada 2015 ini, adalah konsekuensi dari keterlambatan penetapan HPP yang mestinya dikeluarkan bulan Oktober 2014, namun baru diumumkan pada Maret 2015. Padahal bulan Maret merupakan bulan bagi petani memasuki musim tanam kedua. Akhirnya pemerintah tidak melakukan stimulasi produksi gabah dan beras yang efektif serta melakukan penyerapan yang berarti untuk peningkatan stok.

HPP yang seharusnya dapat mendorong penyerahan produk gabah dan beras petani, justru menjadi batu penghalang bagi petani. HPP yang selama ini dituntut tidak bersifat tunggal, tetap diberlakukan Bulog dengan nilai yang sangat rendah yang tidak layak untuk menghargai gabah/beras petani. HPP tersebut disama-ratakan untuk semua daerah dan semua kualitas gabah/beras petani. Selain itu, kualitas yang dipersyaratkan tidak mungkin dipenuhi petani, khususnya terhadap derajat sosoh yang hanya bisa dipenuhi oleh mesin penggilingan modern.

Bulog tidak menganggap HPP sebagai instrumen penting dalam sistem pangan nasional. Sebaliknya HPP justru dimanfaatkan untuk memberi peluang liberalisasi pasar dan alat dalam mencapai kepentingan mafia pangan. Keterlambatan penetapan dan besarnya HPP justru menghasilkan output yang berlawanan dengan hakekat didirikannya Bulog, yakni kelangkaan stock dan harga beras yang melambung.

Hasilnya akhirnya benar-benar sesuai dengan harapan para mafia pangan, yakni dikeluarkannya kebijakan Bulog untuk melakukan impor beras. Kebijakan tersebut ditetapkan tanpa data yang cukup dan analisa yang cermat, melainkan hanya berdasarkan isu yang beredar di surat kabar. Sedangkan informasi yang ada di surat kabar, kemungkinan besar merupakan informasi pesanan dari para mafia pangan. Hal ini sepertinya sejalan dengan sikap ogah-ogahan Bulog dalam membangun dan memanfaatkan sistem monitoring stock, harga, dan iklim/musim bebasis IT.

Kiat-kiat Mempermainkan Data
Lemahnya sikap responsif dan antisipatif Bulog dibayang-bayangi pula oleh pemberitaan tentang El Nino. Kendati ada analisis yang menyatakan dampak El Nino akan memuncak pada Oktober dan November 2015, bahkan ada yang menyatakan akan berpengaruh hingga Mei 2016, namun Bulog tetap saja tidak memiliki informasi yang akurat tentang stock gabah/beras yang tersedia, baik yang ada di gudang, di petani, maupun pada area persawahan. El Nino tentu kurang berdampak pada sawah-sawah beririgasi teknis dengan sumber air memadai yang ditunjang oleh waduk/bendungan yang masih memiliki cadangan air cukup.

Bulog terkesan ingin mengambil keuntungan dari permainan data dan informasi tentang stock pangan yang bervariasi dan membingungkan publik. Hal ini patut dipertanyakan mengingat Bulog memiliki tugas dan fungsi sebagai pengendali stock yang handal. Pada saat data-data Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan stock beras cukup sampai akhir tahun 2015, Bulog malah menggunakan data BPS yang pesimistik untuk melegitimasi impor beras petani asing. Sementara Bulog sendiri tidak memiliki patokan rendemen pemrosesan gabah menjadi padi yang bisa dipercaya.

Kebiasaan Bulog dalam memanipulasi data untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakannya sudah saatnya dikoreksi. Padahal Bulog sudah mengembangkan sistem IT dibawah direksi tersendiri dengan biaya yang tidak sedikit. Bulog sebenarnya bisa memfasilitasi lembaga-lembaga lain jika memang membutuhkan data pembanding (second opinion) dengan basis teknologi yang berbeda untuk mendeteksi stok.

Jika pun stock gabah/beras memang sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan beras yang aman, seharusnya digali permasalahannya. Isu kelangkaan stock gabah/beras boleh jadi tidak benar, karena petani justru menahan gabah/beras di lumbung-lumbung mereka karena rendahnya HPP. Informasi semacam inilah yang tidak pernah disertakan, sehingga data dan informasi yang dimiliki Bulog tidak didukung dengan catatan dan konteks yang membuat suatu informasi menjadi representatif.

Pemihakan terhadap Petani yang Setengah Hati
Sikap Bulog untuk melaksanakan subdisi pangan melalui pengadaan raskin (sekarang diganti rasta) sama sekali tidak mantab. Hal ini bisa dilihat dari kualitas dan volume raskin yang didistribusikan ke masyarakat dan petani. Raskin selama ini hanya dijadikan ajang bisnis para elit untuk mendapat komisi selisih harga pada saat pengadaan dalam negeri atau luar negeri.

Latar belakang pengadaan raskin sebagai bentuk aksi afirmasi agar produksi pangan tumbuh secara bersamaan perlu di evaluasi. Sebab, saat ini beras semakin dipandang sebagai komoditas atau barang dagangan, bukan bagian dari pemerataan sosial ekonomi. Raskin sebenarnya adalah alat untuk meningkatkan NTP (Nilai Tukar Petani) mengingat mayoritas petani kita adalah petani gurem. Kecuali kalau raskin merupakan wujud dari sistem keamanan pangan (food security system) dan sistem pengaman sosial (social security system) bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Evaluasi sikap pemerintah terhadap raskin juga menuntut evaluasi atas kebijakan pangan secara nasional. Hal ini terkait dengan subsidi yang harus diberikan kepada rakyat berpenghasilan rendah. Kebijakan subsidi pemerintah di sektor energi sudah berjalan, walaupun belum signifikan. Namun pertumbuhan ekonomi akan lebih terasa jika pemerintah mampu merumuskan kebijakan subdisi yang tepat pada sektor pangan.

Negara-negara lain seperti Amerika, Jepang, Cina, India, Australia, dan Selandia Baru, menempatkan transformasi pertanian pangan sebagai pondasi untuk lepas landas menuju negara industri maju (industrialized country). Tetapi di Indonesia pertanian pangan justru dikebiri demi merengkuh cita-cita menjadi negara industri (“yang tidak pernah terwujud”). Sedangkan Bangkalan sebagai lumbung padi nomor satu di Indonesia kini tidak memiliki stock gabah/beras sama sekali.***

Penulis adalah: Koordinator Relawan Jokowi-JK

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung