Selasa, 13 Oktober 2015


Oleh: Ir. S. Indro Tjahyono

BENCANA asap yang terjadi berlarut-larut saat ini, pasti bukan sekedar permasalahan teknis atau teknologi. Mustahil mereka tidak tahu seluk-beluk dan dampak negatif serta kerugian material dan imaterialnya dari metode pembajakan hutan yang menjadi sumber bencana asap tersebut. Apalagi kalau selama 15 tahun terakhir, secara intensif metode tersebut digunakan.

Dari hirarki ruang lingkup tugas dan fungsi birokrasi, karena sudah kewalahan, urusan asap kini bukan lagi menjadi urusan Direktur Jenderal (Dirjen) dan Menteri. Presiden terpaksa langsung turun dan menjadikan asap sebagai tugas dan fungsi serta urusannya.

Mandulnya Penegakkan Hukum
Kalau urusan asap direduksi menjadi urusan penegakan hukum atau kejahatan koorporasi, itupun rasa-rasanya tidak relevan lagi. Bukan hanya Polisi yang sudah turun untuk mengatasi, tetapi TNI juga sudah memobilisasi pasukan untuk coba-coba menangani. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memburu para pelaku pembakaran hutan.

Anehnya, dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembakaran hutan masih diperbolehkan. Terlebih tingkat sanksi terhadap pelaku pembakaran terus diperberat dari denda, hukuman kurungan, sampai sanksi administratif berupa pencabutan ijin penguasaan lahan.

Namun, makin diperberat sanksi, bukannya mendatangkan efek jera yang efektif, tetapi justru terjadi demoralisasi dan pembusukan lembaga penegak hukum. Makin banyak pelaku pembakaran hutan dijadikan tersangka, makin membengkak pula “bisnis” para penegak hukum yang menggelar praktek-praktek KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).

Persepsi Keliru Tentang Kebakaran Hutan
Beratus-ratus tesis di IPB dan fakultas Kehutanan perguruan tinggi yang lain sudah mengambil pokok bahasan tentang kebakaran dan pembakaran hutan. Judul skripsinya aneh-aneh dan absurd. Ada yang berjudul pembakaran hutan terkendali atau cara efektif mengatasi kebakaran hutan. Tetapi berbagai tesis itu sama sekali tidak menyentuh atau menyinggung asap yang ditimbulkannya. Selain itu, ada pula skripsi yang membahas tentang manfaat dan kerugian dari pembakaran hutan sebagai metode pengolahan lahan.

Selama ini paradigma penyebab kebakaran hutan masih didasarkan pada aspek ketidak-sengajaan atau kekhilafan. Karena itu istilah yang sering digunakan adalah “kebakaran hutan” bukan “pembakaran hutan”. Hutan terbakar seolah-olah timbul oleh sebab-sebab impersonal dan bukan sebab-sebab personal atau human error. Dari tinjauan aspek manajemen, kebakaran hutan masih diposisikan sebagai force majeur tetapi bukan malpraktek.

Paradigma inilah yang terus berusaha dipertahankan oleh para pihak, khususnya pemerintah dan pemerintah daerah. Karena itu, ada petugas Dinas Kehutanan yang berkolaborasi dengan pelaku pembakaran hutan untuk menghapuskan barang bukti di lapangan. Petugas dinas ini selalu melaporkan dalam laporan SPJ monitoring dan evaluasi lapangannya bahwa tidak ditemukan bukti-bukti di lapangan.

Kerugian Dibalik Efisiensi Ekonomi
Pandangan para analis ekonomi menyatakan bahwa metode pembakaran hutan adalah metode yang super-efisien dalam pengolahan lahan hutan untuk perkebunan. Dibandingkan metode pengolahan lahan melalui penebangan tegakan, perancahan, penyingkiran material tegakan, pembongkaran bonggol akar, dan pembusukan material tegakan; pembakaran hutan per hektar hanya membutuhkan biaya maksimal 1% saja. Karena itu para pengusaha perkebunan yang memilih metode pembakaran hutan ini, mengatakan telah “ikut mensejahterakan petani sekitar hutan” melalui proyek membakar hutan.

Analisis ekonomi seperti di atas adalah bentuk dari kejahatan akademis. Mengapa demikian? Karena sebenarnya pembakaran hutan lebih jahat daripada penggunaan insektisida dan herbisida yang membunuh spesies tertentu. Melalui pembakaran hutan yang terjadi adalah genocide dan hollocaust terhadap seluruh jenis plasma nutfah dalam rangkaian ekosistem. Kerugian ekologis yang ditimbulkan dari pembakaran hutan jelas tidak terhingga, kalau dikaitkan dengan plasma nutfah yang berpotensi dalam mendukung sustainable of live (keberlanjutan kehidupan).

Kegagalan Evolusi Budaya
Dengan menyatakan bahwa persoalan asap dan kebakaran hutan adalah hasil dari tindakan manusia bukan dalam arti orang per orang tetapi dalam arti kolektif, maka timbul pertanyaan jangan-jangan kebakaran hutan ada kaitannya dengan tingkat keberadaban (civilization) dari bangsa ini.

Pertanyaannya, apakah dalam evolusi kebudayaan menurut Newel Roy Sims, kita sudah tergolong memiliki peradaban lebih tinggi (more highly civilized people) atau justru lebih rendah (less highly civilized people) dengan asumsi semua orang umumnya sudah cukup beradab (civilized people). Hal ini sangat penting, karena Huntington mengatakan peradaban inilah yang membedakan manusia dengan spesies lain (destinguish humans from other spesies).

Evolusi kebudayaan Indonesia selama ini memang seperti berlangsung secara chaostic atau berantakan, karena tidak ada pemimpin yang mau bertanggung-jawab dalam gerakan membangun peradaban bangsa. Setelah Bung Karno dikudeta, praktis program membangun karakter (character building) tersungkur. Hanya Soeharto saja yang mencoba-coba membangun budaya Indonesia dan menggagas manusia Indonesia yang seutuhnya sebagai suatu mosaik kepribadian amorf minus jati diri. Pemimpin paska reformasi justru memberi angin terhadap timbulnya liberalisme atau budaya pasar.

Pembakaran Hutan Adalah Bentuk Budaya Kekerasan
Dalam pada itu tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa ditentukan oleh faktor pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta keadaban moral. Keadaban moral terdiri dari nilai-nilai kesusilaan, norma-norma, etika, dan estetika. Nilai kesusilaan adalah suatu nilai yang diterima sebagai hal yang wajar dalam satu entitas masyarakat. Norma adalah aturan, ukuran, atau pedoman dalam menetapkan benar dan salah serta baik dan buruk dari fenomena kehidupan. Etika adalah perilaku yang diatur oleh norma-norma untuk mewujudkan tata susila atau sopan santun. Sedangkan estetika adalah kepedulian untuk mewujudkan keindahan yang meliputi kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebalikan (contrast).

Namun faktor yang paling crusial dari peradaban bukanlah pendidikan atau penguasaan iptek, tetapi adalah faktor keadaban moral dalam memperlakukan obyek di lingkungan sekitar. Fyodor Dostoevsky berteori, jika ingin mengukur dengan mudah tingkat keberadaban dapat dibuktikan dengan memasukkan pesakitan ke dalam penjara (the degree of civilization can be just by entering its prisons). Pemerasan, penyiksaan, sadisme, barbarisme yang terjadi di penjara dapat menjadi barometer dari peradaban. Keberadaban, dengan demikian sangat terkait dengan toleransi atas praktek-praktek budaya kekerasan yang ada di masyarakat.

Kembali ke Masa Prasejarah
Dalam tulisan ini kita pun bisa katakan keberadaban dapat diukur dari bagaimana hutan dan lingkungan hidup diperlakukan. Pembakaran hutan dan bencana asap seolah memundurkan peradaban bangsa ini ke peradaban prasejarah tatkala tulisan atau aksara belum dikenal. Praktek-praktek budaya kekerasan, yang dalam hal ini adalah pembakaran hutan, menunjukkan masih kaburnya transformasi harkat kita sebagai makhluk apakah kita masih tergolong homo erectus, atau kita sudah menjadi homo sapiens yang sesungguhnya.

Kapankah pembakaran hutan sebagai bagian dari budaya kekerasan akan berakhir? Dave Kajganich dalam penggalan dialog pada film besutannya The Invasion mengatakan where human beings ceased to be human, yakni mungkin di mana manusia sudah tidak lagi menjadi manusia.***
Penulis Adalah: Koordinator Relawan Jokowi-JK

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung