Selasa, 22 Januari 2013

MESKI kita baru memasuki tahun 2013, namun tahun 2014 sudah semakin dekat. Jauh sebelumnya, banyak pihak menyiapkan segalanya menyongsong tahun Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014. Publik sangat faham, jika segala sesuatu yang dilakukan aktor politik pada tingkat manapun akan semakin intensif digarap menurut skenario suksesnya dalam kontes paling akbar bagi kemenangan kelompok politiknya. Karena, semuanya ingin menang.

Jargon semua mau menang memang sering menyesatkan. Segala program pembangunan dan kebijakan dalam kewenangan setiap kelompok, pasti disusun berdasarkan skenario pemenangan pemilu, tetapi senantiasa dibungkus bumbu politik kesejahteraan populis. Realitasnya, mendekati hari H, sungguh semakin tidak jelas apakah proyek, program dan kebijakan pembangunan itu politik kesejahteraan atau politik citra semata.
Ketidakjelasan nyaris nampak di seluruh urusan pembangunan, termasuk kebijakan Pemerintah tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah petani. Tidak seperti yang terjadi pada setiap akhir tahun beberapa waktu terakhir yang selalu diwarnai pembahasan tentang kenaikan HPP sebagai penyesuaian harga bagi kesejahteraan petani. Akhir 2012 justru diwarnai penegasan pemerintah bahwa HPP 2013 tidak dinaikkan. Alasannya? HPP RI sudah tertinggi se Asia Tenggara.
Tidak naik, artinya Inpres 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah tetap berlaku. Berdasarkan Inpres yang mulai berlaku 27 Februari 2012, HPP beras adalah Rp 6.600 per kilogram dan HPP  Gabah Kering Panen (GKP), Rp 3300 dan Rp 3350 per kilogram pada tingkat petani dan penggilingan. Sementara HPP  Gabah Kering Giling (GKG) Rp 4150 dan Rp 4200 per kilogram untuk tingkat penggilingan dan gudang Bulog. Semua itu terkait dengan kualitas medium.
Ada beberapa kejanggalan dari keputusan tentang HPP yang tahun 2013 tidak naik ini. Pertama, tidak naiknya HPP berarti selama 2013 petani dipaksa menerima HPP yang nominalnya sama dengan HPP 27 Februari 2012. Kedua, berbasis catatan makroekonomi bahwa inflasi RI mencapai 6% -7%  per tahun, maka HPP beras yang Rp 6.600 per kilogram, sudah pasti memiliki nilai riel yang merosot.
Ketiga, bukankah ini menimbulkan pertanyaan: bahwa komoditas lain boleh naik harganya dan inflationary, tetapi harga beras tidak boleh naik selama dua tahun? Memangnya beras pengaman inflasi? Keempat, mengingat petani beras adalah konstituen terbesar Pemilu 2014, sungguh tidak bisa dipahami bahwa mereka harus berkorban menerima nasib berasnya makin murah, dalam nilai riel. Bukankah ini sebuah kezaliman pembangunan nasional, justru bagi mayoritas warga?
Kelima, alasannya HPP beras Indonesia sudah tertinggi se Asia Tenggara. Ini keputusan sangat sembrana dalam urusan berbangsa. Satu sisi, harga komoditas strategis teramat terkait dengan kebijakan moneter-fiskal-tataniaga negara masing-masing. Sehingga kalkulasinya tidak bisa sekedar kalkulasi finansial belaka, seperti alasan bahwa Indonesia tertinggi. Kita harus berani berhitung tentang derajat proteksi efektif, termasuk mengukur pengaruh kebijakan moneter, fiskal dan tataniaga tiap negara yang dirujuk dalam hal ini.
Pada sisi lain, nilai sebuah komoditas sangatlah tergantung pada kepentingan politik dan strategis setiap negara. Bagi RI, sungguh tidak cerdas ketika menilai beras sekadar dari tinjauan finansial belaka, dengan mengatakannya lebih tinggi atau lebih murah. Karena, sebutir beras senantiasa memiliki makna politik, makna sosial, berurusan dengan keadilan dan kedaulatan lokal, dan bahkan bermakna spiritual. Adalah kebodohan besar memaknai beras sebagai komoditas ekonomis, apalagi finansial semata.
Uraian singkat yang disampaikan jelas sekali membuktikan bahwa urusan HPP ini sudah terjebak politisasi 2014, mempermainkan isu kesejahteraan rakyat tani, meski senyatanya kepentingan citra lebih menonjol. Sama sekali tidak masuk akal ketika HPP yang sudah berusia satu tahun tidak akan diubah pada tahun 2013. Tidak masuk akal karena mencederai mayoritas pemilik contrengan RI. Ini hanyalah permainan politik murahan?
Politisasi HPP dalam hal ini nampaknya angon wajah. Kapan waktu naik yang tepat sekaligus memunculkan ‘pahlawan’, mendongkrak citra politik. Untuk membuktikan, mari kita amati panggung politik. Kita saksikan sampai kapan HPP tidak naik menghadapi hari H, 2014? Memangnya nggak butuh contreng-an petani?
(Penulis Adalah: M Maksum Machfoedz, Guru Besar TIP-FTP UGM, Ketua PBNU)***

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung