Kamis, 07 Februari 2013

ANEKA pelajaran krisis 2012 disajikan jelas oleh garam, beras, gula, jagung, kedelai dan sapi. Produktivitas yang hakikatnya menjanjikan dan terpetakan dalam road map swasembda 2014 rumusan Kabinet Indonesia Bersatu jilid-II (KIB-II), telah diciderai sendiri oleh KIB-II. Buktinya adalah banyaknya kebijakan kontradiktif yang berakibat bunuh diri. Swasembada dikebiri. Dan celakanya, dengan pola pikir yang nyaris sama, mulai dari garam sampai sapi.

Faktanya? Madura kebanjiran garam impor, surplus beras tetapi impor, penghapusan cukai kedele impor, tebu rakyat kebanjiran gula mentah impor, jagung berbasis benih impor, dan membengkaknya lagi kuota sapi impor. Sangat jelas bahwa kemudahan importasi diputuskan KIB-II bukan sekadar berbasis penawaran-permintaan, tetapi berbasis pesanan komprador. Legitimasinya adalah data pasar yang mudah disulap. 
Bunuh diri ini pantas disebut demoralisasi karena proses degaramisasi sampai desapinisasi telah terjadi akibat: (i) inkonsistensi kebijakan KIB-II, yaitu target pembangunan yang diciderai sendiri; (ii) pengingkaran pembangunan yang nyaris terjadi sama-sisi: keputusan KIB-II di dikte segelintir nekolim dan komprador, sedikit orang pemilik modal dan antek penguasa rente importasi. Maraknya kisruh pangan pokok,  diramaikan pula oleh krisis abadi importasi sejumlah produk horti hari-hari ini.
Bangsa agraris Indonesia sepertinya tidak pernah lepas dari krisis pangan. Blunder kebijakan, atau lebih tepat disebut pembijakan importasi, terjadi silih berganti bagai sebuah audisi menyanyi. Audisi Pembijakan Importasi sungguh sangat nggegirisi ketika ternyata dikapling-kapling sebagai sumber dana politisi dan birokrasi.
Importasi memang urusan tataniaga biasa akibat disparitas harga. Tetapi, dalam proses bernegara, importasi berpotensi moral hazard, kebejatan moral pembijakan terkait dengan konsesi dan lisensi guna berbagi rejeki. Rente ekonomi yang luar biasa tinggi, mengakibatkan makin strategisnya konsesi dan lisensi. Tidak berlebihan kalau urusan keduanya disiasati para importir dan komprador dengan kekuatan uang, politik dan kekuasaan untuk menjinakkan pengatur importasi.
Krisis telah terjadi melalui penjinakan dengan dukungan rekayasa pasar, mobilisasi pelaku ekonomi, menggerakkan pekerja dan pelaku usaha tingkat basis, gratifikasi birokrasi dan politisi, bahkan sampai rekayasa legislasi. Itulah modus pembenaran importasi. Kalau hari ini terungkap gratifikasi importasi daging sapi, sebenarnya barulah sebuah fakta mini. Besar kemungkinannya terjadi pula dalam importasi beras, garam, benih jagung, kedele, gula mentah, sapi dan horti.
Demoralisasi telah terjadi dalam beberapa tingkatan, antara lain: (i) kemunafikan: ketika program pembangunan justru dipasungnya sendiri; (ii) ketidakadilan: karena basis penggembosan pembangunan adalah syahwat rejeki importasi yang mematikan rakyat tani; dan (iii) krisis kesejahteraan: berupa dikebirinya kesejahteraan rakyat tani, padahal kesejahteraan inilah tugas utama pemerintah.
Tidak kalah pentingnya adalah krisis pola pikir yang jangka pendek dan sangat parsial. Persoalan tata-niaga pangan adalah urusan jangka panjang, berkenaan dengan kepentingan bangsa dan kedaulatan, serta berimplikasi multidimensi. Seharusnya importasi dipertimbangkan komprehensif, bukannya parsial dan reaktif, insidental dan berbasis finansial semata.
Sudah selayaknya pemikiran sistemik inilah landasan keputusan importasi. Ketika faktanya ada beda harga, maka tugas negara bukanlah sekedar memutuskan impor. KIB-II harus menjawab: ”Mengapa harga berbeda?”Bukan justru ikut berburu syahwat pribadi dan kelompok politiknya. Disparitas harga sangat terpengaruh oleh: potensi produksi, besarnya subsidi dan proteksi, kebijakan tataniaga, kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan legal dan sebagainya.
Untuk tidak menjadi semakin politisnya gratifikasi daging sapi, auditing pembijakan importasi untuk semua komoditi harus lebih menyeluruh dilakukan KPK. Indikasi teoritis dan implementatifnya sudah super jelas. Hanya fakta legalnya yang sembunyi. Sungguh pantang bagi Bangsa Terhormat membiarkan urusan pangannya terkontaminisasi rente, syahwat, dan aneka gratifikasi.
(Penulis adalah Guru Besar UGM,  Ketua PBNU)

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung