Sabtu, 24 Agustus 2013
Tajuk

Bagian (I)

KONON, mafia migas adalah mafia tertua didunia. Dari berbagai versi, mafia minyak adalah perantara (trader) antara pemasok-pemasok minyak mentah untuk Pertamina melalui anak perusahaannya, Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Sementara bos-nya sendiri adalah dari kalangan pebisnis Singapura yang disebut-sebut sebagai Gasoline Father, yakni Mr.Mohammad Reza Chalid dari Global Energy Resources (GER).

Sejumlah kalangan menuding, tender dibidang migas itu tidak transparan, sehingga sulit untuk diawasi dan rawan penyimpangan. Dalam kasus ini disebut-sebut ada permainan uang (fee) hingga miliaran rupiah. Rhenald Kasali bahkan mengatakan, “selagi Indonesia masih membeli dengan harga spot yang bisa dibeli sewaktu-waktu dalam jumlah besar, permainan tetap ada”, (Tabloid Prioritas Edisi 8/5-11 Maret 2012).

Bahkan, Dr.Rizal Ramli sudah lama mensinyalir adanya mafia yang diduga merampok kekayaan negara lewat migas. Dalam bukunya “Menentukan Jalan Baru Indonesia”, ia bahkan menyebutkan, bahwa pendapatan perhari Mr.Teo Dollars mencapai U$D 600 ribu atau setara Rp.6 miliar, yang sebagiannya disetorkan kepada oknum-oknum tertentu dalam pemerintahan RI. Dalam sebuah pidatonya pada 24 April 2008, DR.Rizal Ramli menolak kenaikan harga BBM, terkecuali jika pemerintah berani “membabat” habis mafia migas.

Selain Dr.Rizal Ramil, George Aditjondro justeru lebih gamblang menyebutkan, bahwa beberapa anggota keluarga besar Presiden SBY yang dibantu oleh kroni-kroninya, memiliki bisnis ekspor impor minyak mentah. Jika dahulu Riza (GER) membayar “premi” kepada keluarga Cendana, maka sekarang dia membayar komisi kepada kelompok Cikeas sebesar U$D 50 sen per barrel.

Jika ditotal dari ekspor kita yang hampir mencapai 900 ribu barrel per hari, maka yang diperkirakan masuk ke keluarga Cikeas (SBY) adalah sekitar sebesar U$D 450 ribu per hari, ditambah bonus boleh meng-ekspor minyak mentah sebanyak 150 barrel per hari. Ada dugaan, bahwa keberadaan kelompok Cikeas itu sempat membuat Dirut Pertamina, Karen Setiawan, mengancam akan meletakkan jabatannya, karena tidak tahan menghadapi tekanan Cikeas (George Junus Aditjondro dalam bukunya “Cikeas Makin Menggurita” hal 67-68).

Menteri BUMN, Dahlan Iskan sendiri, mengaku risih atas tajamnya sorotan media masa dan publik terhadap Petral. “Perlu ada perbaikan ditubuh anak perusahaan Pertamina itu, agar tidak lagi dijadikan tempat korupsi dan sarang bagi para mafia minyak,” kata Dahlan Iskan, (Tabloid PRIORITAS Edisi 8/05-11 Maret 2012).

Hubungan Mafia Minyak dengan Pertamina

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan pemberitaan tentang Petral yang hendak dibubarkan oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Namun penyataan Dahlan Iskan itu hanyalah “gertak sambel”, dan ternyata hingga saat ini justeru semakin eksis. Sejak jaman Orba hingga sekarang, Petral disebut-sebut sebagai sarang korupsi dengan nilai yang mencapai triliunan rupiah. Anehnya, tak ada satu pemangku otoritas pun yang dapat menyentuhnya.

Seperti diketahui, Petral adalah perseroan terbatas yang merupakan anak perusahaan dari PT.Pertamina. Perusahaan itu bergerak dibidang perdagangan minyak, yang 99,83 persen sahamnya dipegang oleh Pertamina, dan 0,17 persen sisanya dipegang oleh Direktur Utama (Dirut) Petral, Nawazir sesuai dengan UU/CO Hongkong.

Tugas utama Petral adalah menjamin suply minyak yang dibutuhkan oleh Pertamina/Indonesia dengan cara membeli minyak dari luar negeri. Saat ini, dibawah Petral sudah ada 55 perusahaan yang terdaftar sebagai mitra usaha terseleksi. Sementara pengadaan minyak untuk Petral dilakukan dengan tender terbuka, tetapi Petral juga membeli minyak secara langsung dengan alasan, ada jenis minyak tertentu yang tidak dijual bebas, atau dengan membeli secara langsung maka harganya lebih murah dibadingkan dengan mekanisme tender.

Pada tahun 2011 saja, Petral membeli 266,42 juta barrel minyak, yang terdiri atas 65,74 juta barrel minyak mentah dan 200,68 juta barrel yang berupa produk. Sementara harga rata-rata pmebelian oleh Petral adalah sebesar U$D 113,95 per barrel untuk minyak mentah, U$D 118,50 untuk premium, dan U$D 123,70 per barrel untuk solar. Sehingga total pembelian Petral adalah sebesar U$D 7,4 miliar untuk minyak mentah dan U$D 23,2 miliar untuk bensin/solar, sehingga berjumlah U$D 30,6 miliar atau setara Rp.275,5 triliun per tahun.

Mafia minyak yang disebut-sebut menguasai dan mengendalikan Petral selama puluhan tahun adalah M Riza Chalid. Selain itu, nama Tommy Soeharto juga disebut-sebut sebagai salah satu mafianya. Dahulu, perusahaan Tommy diduga menjalankan praktek “titp” U$D 1-3 per barrel. Jika publik sudah mengetahui siapa itu Tommy Soeharto, maka siapakah M Riza Chalid? Riza adalah WNI keturunan Arab yang dahulu dikenal sangat dekat dengan keluarga Cendana. Pria berusia 53 tahun itu disebut-sebut sebagai penguasa abadi dalam bisnis impor minyak Indonesia. Kalau dahulu dia dikenal dekat dengan keluarga Cendana, maka sekarang pun dia disebut-sebut merapat ke kelompok Cikeas.

Riza juga disebut-sebut sebagai sosok yang rendah hati. Namun dibalik itu, siapapun pejabat Pertamina, termasuk Dirut Pertamina akan tunduk dihadapan dia. Karena siapapun yang mencoba melawan kehendaknya, maka segera mental dari Pertamina. Dan itulah yang disebut-sebut juga dialami oleh Ari Soemarno, Dirut Pertamina yang dahulu dicopot dari jabatannya. Dulu Ari Soemarno mencoba memindahkan Petral dari Singapura ke Batam, namun hal itu tidak disukai oleh Riza, hingga Ari pun dipecat. Sebab, kalau Petral berkedudukan di Batam, maka pemerintah dan masyakarat luas akan mudah mengawasi operasional Petral yang dikenal korup. Rencana Ari Soemarno itu pun dianggap berbahaya, karena akan mengganggu kenyamanan “para mafia” minyak yang sudah puluhan tahun menikmati legitnya bisnis minyak.

Para perusahaan minyak dan juga para broker minyak Internasional pun mengakui kehebatan Riza sebagai “God Father” bisnis impor minyak Indonesia, hingga di Singapura pun Riza dijuluki sebagai “Gasoline God Father”, karena lebih dari separuh impor minyak Indonesia dikuasai oleh Riza, dan tidak ada yang berani melawan dia. Beberapa waktu lalu, Global Energy Resources (perusahaan milik Riza), pernah diusut dalam kasus dugaa penyimpangan laporan penawaran minyak impor ke Pertamina. Namun anehnya, kasus itu hilang bak ditelan bumi, dan aparat penyidik pun tak ada yang bersuara. Padahal kasus itu disebut-sebut hanyalah bagian kecilnya saja.


GER milik Riza dikatakan induk dari lima perusahaan, yakni Supreme Energy, Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil, dan Cosmic Petrolium yang berbasis di Spore dan terdaftar di Virgin Island yang bebas pajak. Kelima perusahaan itu pun merupakan mitra utama PT.Pertamina. Kelompok Riza itu juga yang disinyalir menghalangi pembangunan kilang-kilang pengolahan BBM dan perbaikan kilang minyak di Indonesia. Bahkan, penyelesaian PT.TPPI yang cukup menghebohkan lantaran merugikan negara, juga diduga tidak terlepas dari intervensi kelompok Riza Cs. Kelompok itu diduga mengatur sedemikian rupa, agar Indonesia tetap bergantung pada Bensin dan Solar impor. Sementara impor BBM RI adalah sebanyak 200 juta barrel per tahun. (BERSAMBUNG)- (sumber: http://m.facebook.com/mas.hendrajit/post/10151792633179161?refied=28&_ft_qid.5912733563483667124%3Amf_story_key.7820966922758371559)*

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung