Senin, 26 Agustus 2013
Tajuk
Bagian (II)
IRONISNYA, bahkan Menteri
BUMN, Dahlan Iskan sendiri setidaknya sudah tiga kali dikalahkan oleh kelompok
Riza Cs, yakni gagal membubarkan Petral, gagal memindahkan Petral ke Indonesia,
dan gagal mencegah orang-orang yang disinyalir bonekanya Riza Cs masuk menjadi
Direksi PT.Pertamina. Sebuah sumber menyebutkan, bahwa “aksi jalan tol” Dahlan
Iskan beberapa waktu lalu adalah merupakan kompensasi frustasinya dalam
menghadapi hegemoni mafia minyak.
Lalu siapa sajakah kelompok Riza Cs itu? Nama yang disebut-sebut berada
dibelakang Riza, diantaranya adalah Bambang Trihatmodjo dan Rosano Barrack,
yang merupakan kelompok Cendana.
Pertanyaan lainnya adalah, bagaimanakan kelompok Riza Cs bisa masuk
kedalam lingkungan Istana, Cikeas, dan Lapangan Banteng (Kemenkeu)? Sebuah
sumber juga menyebutkan, bahwa Riza dekat dengan Purnomo Y dan Pramono EW.
Purnomo Y yang waktu itu sebagai Menteri ESDM dan Pramono EW digunakan sebagai
pintu masuk menuju Istana dan Cikeas. Riza Cs bahkan disebut-sebut sering
berkunjung ke Cikeas sekedar untuk mengamankan “praktek mafia” di Impor minyak
Indonesia. Tentu saja tidak ada makan siang yang gratis.
Selain dijajaran elite politik, Riza juga disebut-sebut sangat dekat
dengan Wakil Dirut perusahaan hulu Migas dan Syamsu Alam yang General
Managernya Purnomo Y sewaktu masih menjabat sebagai Menteri ESDM bertugas
mengamankan kontrak-kontrak pembelian minyak impior dari mafia minyak tersebut.
Dahlan Iskan yang meminta Pertamina membeli minyak secara langsung, justeru ditentang
oleh Direksi Pertamina dengan menyatakan bahwa Pertamina harus membeli via
broker. Dahlan pun tidak bisa berbicara banyak ketika mendengar kalimat itu.
Nama Riza memang tidak tercantum dalam Akte Global Energy Resources,
holding perusahaan broker minyak milik Riza tersebut. Nama yang tercatat dalam
Akte adalah Iwan Prakoso (WNI), Wong Fok Choy, dan Fernandes P Charles, meski
sejatinya perusahaan itu adalah milik Riza. Sementara untuk memperkuat posisi
Riza di Pertamina, sebagian Direksi Pertamina yang kurang setuju dengan
pembelian minyak via broker, belum lama ini diganti. Dan sekarang, semua
Direksi Pertamina disebut-sebut merukapan kelompok pendukung Riza Cs.
Sepak terjang Riza ternyata tidak hanya sebatas sebagai penguasa impor
minyak saja, namun juga dalam pembelian atau penampungan baru bara minyak dari
Pertamina. Pembelian Batu Bara minyak dari Pertamina dilakukan oleh Orion Oil
dan Paramount Petroleum.
Dahulu sempat ada broker besar minyak lain yang juga ingin mendapatkan
jatah impor minyak dari Petral/Pertamina. Dia bersama kakak tertua Ani
Yudhoyono datang ke Spore. Dirut Petral menyambut kedatangan pengusaha
tersebut, dan intinya Petral siap memberikan “jatah” impor kepada pengusaha
itu. Namun kemudian, Riza disebut-sebut mendatangi Wiwiek dengan membawa uang
U$D 400 ribu, dan meminta Wiwiek tidak membantu pengusaha tersebut.
Tulisan ini setidaknya sedikit mengisahkan tentang cerita panjang mafia
minyak yang tidak pernah tersentuh. Salah satu skenario mafia minyak yang
diduga berkolaborasi dengan kelompok Cikeas, adalah melalui resufle kabinet
pada 2011 lalu. Ada dugaan, bahwa Purnomo Y yang disinyalir sudah terlibat
sejak lama, digeser menjadi Menhan, dan sebagai pengantinya pada posisi
strategis itu ditempatkan Jero Wacik yang Demokrat tulen dan loyalis SBY.
Bahaya jika Purnomo Y tetap dipertahankan sebagai Menteri ESDM, karena
khawatir informasinya bisa bocor ke JK, Mega atau pihak-pihak lain. Makanya
konspirasi baru itu haruslah top secret.
Meski sebenarnya Purnomo Y disebut-sebut sebagai biang dari permainan mafia
minyak tersebut.
Bermain di minyak luar biasa basahnya. Karena jika diitotal, korupsi di
APBN nilainya tidaklah seberapa jika dibandingkan dnegan di minyak, selain juga
aman dan nyaman. Sebab, uang korupsi impor minyak yang mencapai puluhan triliun
itu tidak dibawa masuk ke Indonesia, melainkan ke rekening-rekening di
Hongkong, Singapura dan Swis, dan baru ditarik ke Indonesia jika benar-benar
diperlukan. Tentu saja, uang itu utamanya dicairkan saat menjelang Pemilu dan
Pilpres untuk membiayai kampanye dan politik uang.
Pada jaman Orba, setiap ekspor minyak, para mafia yang dibekingi
penguasa bisa “titp atau kutip” U$D 1-3 per barrel. Ketika Indonesia mulai
impor (masih Orba juga) hal itu pun disinyalir masih terjadi. Bahkan untuk
biaya angkutan minyak pun, disinyalir ada mark-up yang merugikan negara hingga
puluhan juta dolar per tahun. Karena pengangkutan minyak Indonesia hingga saat
ini, masih menggunakan pemain lama, yakni Humpuss Intermoda.
Kembali ke Petral. Jika pembelian minyak Indonesia berjumlah total 266
juta barrel pada tahun 2011, dan asumsikan saja ada titipan U$D 3 per barrel,
maka nilainya setara U$D 798 juta per tahun, atau setara Rp.7,2 triliun per
tahun.
Selain itu, modus korupsi mafia minyak juga terjadi dengan cara menipu
kualitas dan jenis minyak yang di impor Pertamina. Sementara kilang minyak
Pertamina diduga diseting untuk hanya bisa mengolah minyak produksi Afrika dan
Timur Tengah. Masih ingatkah kasus minyak Zatapi yang diusut Tempo? Mafia
minyak itu seolah-olah mengimpor minyak dari Afrika dan Temur Tengah, padahal
minyak yang dibeli dari sana hanya sepertiga atau seperempatnya saja, dan
sisanya diduga dibeli dari broker lain. Transaksinya dilakukan ditengah laut
untuk memenuhi kapasitas. Kualitas minyak yang dibeli secara “gelap” ditengah
laut itu, tentu lebih rendah dibanding yang tercantum di BL atau dokumen
pengangkutan kapal. Contohnya, satu kapal tenker full capacity nilai minyak
sebesar U$D 80-110 juta, namun di BL tercantum nilai tersebut berikut kuantitas
cargonya.
Dengan modus pengisian yang hanya sepertiga atau seperempat dair
kapasitas, para mafia itu mencampur minyak dengan minyak kualitas rendah,
dengan harga 20-30 persen lebih rendah. Lalu berapakah kerugian negara dalam
hal ini? Asumsikan saja nilai impor minyak per kapal tenker U$D 100 juta per
shipment. Kapal dimuat dengan 25 persen minyak yang sesuai dengan BL impor.
Lalu asumsikan saja harga minyak impor tersebut sesuai BL U$D 100 per barrel.
Jika 75 persen minyak kualitas rendah yang dibeli ditengah laut itu setara U$D
70 per barel, maka keutungan mafia minyak mencapai U$D 75 juta dikali 30 persen
atau setara U$D 22,5 juta atau Rp.210 miliar per shipment. (Redaksi)-(sumber: http://m.facebook.com/mas.hendrajit/post/10151792633179161?refied=28&_ft_qid.5912733563483667124%3Amf_story_key.7820966922758371559)***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar