Senin, 05 Agustus 2013
Oleh: Hanibal Wy Wijayanta

BAGAI air bah, gelombang sapi impor siap potong dari Australia pekan ini mulai membanjiri Tanah Air. Rabu (31/7/2013) dini hari lalu, 1.478 ekor sapi tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Gelombang kedua, sebanyak 4.817 ekor sapi telah dikapalkan pada 30 Juli 2013. Dengan diangkut Kapal Ocean Swagman, sapi-sapi ini akan tiba di Tanjung Priok pada Ahad (4/8).

Kedua gelombang ini bagian dari total impor 12.500 ekor sapi siap potong dari Australia hingga H 5 lebaran. Dengan alasan untuk menstabilkan harga daging sapi yang tak kunjung turun, pemerintah membuka keran impor sapi siap potong besar-besaran. Impor sapi siap potong dari Australia ini diatur dengan Keputusan Menteri Perdagangan nomor 699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang stabilitas harga daging sapi.

Keputusan ini diambil setelah dalam rapat kabinet terbatas pada 13 Juli 2013, di Bandara Halim Perdanakusuma. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono murka Dalam rapat itu, Presiden mengaku kecewa atas kinerja para menteri dan pejabat terkait. Sebab, sejak Januari 2013, harga daging sapi terus membubung tinggi. "Kita ini harus punya tiga sense, sense of crisis, Mentan juga harus punya sense of crisis, Kabulog, Mendag, sense of urgency, sense of responsibility," kata SBY.

SBY mendesak semua pejabat terkait untuk segera menyelesaikan persoalan daging sapi dalam hitungan hari. "Short-cut" solusi dengan impor daging sapi dan sapi hidup dipilih. Intinya, lonjakan harga daging sapi harus ditangkal.

Kemarahan Presiden tentu bikin kecut para pejabat. Maka, walau sudah diingatkan agar mereka tidak saling lempar tanggung jawab, kambing hitam tetap diperlukan untuk mengesahkan langkah selanjutnya. Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, kelambanan stabilisasi harga daging disebabkan perbedaan data Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Belakangan muncul bocoran hasil sementara Sensus Pertanian per 3 Juni 2013. Menurut bocoran data Badan Pusat Statistik (BPS) itu, populasi ternak sapi potong, sapi perah, dan kerbau Indonesia anjlok 19,52 persen dibandingkan hasil Sensus Pertanian 2011. Populasi ternak kini tercatat hanya 13,28 juta ekor. Padahal, pada periode sebelumnya mencapai 16,5 juta ekor.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengaku kecewa terhadap para feedloter. Sebab, meski sudah dijatah impor dan pembesaran 109 ribu ekor sapi, mereka tak juga memotongnya. Akibatnya harga daging sapi tetap mahal. Menteri Pertanian Suswono seolah menyerah dan seakan melupakan program swasembada sapi yang dirancangnya sendiri. 

Maka, sabda murka Presiden SBY menjelma menjadi sebuah panic policy, alias kebijakan dalam kepanikan. Kebijakan pertama, mendorong Badan Urusan Logistik (Bulog) agar segera mengimpor daging sapi, dengan total 3.000 ton sampai Desember nanti. Tujuannya untuk menurunkan harga daging sapi sampai Rp 75 ribu per kg.

Kedua, membuka keran impor sapi siap potong, tanpa perlu rekomendasi Kementan. "Ditjen Peternakan hanya bertugas mengeluarkan persyaratan kesehatan hewan yang harus dipenuhi importir,"  kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro. 

Seperti arahan Presiden, untuk kebijakan ketiga, Menteri Gita menggandeng bos Artha Graha, Tomy Winata, untuk menggelar operasi pasar daging. Pekan lalu, Tomy mengerahkan 22 truk berpendingin berisi 800-1.000 kg daging sapi asal Australia untuk didistribusikan ke 20 titik kelurahan di lima wilayah Jakarta untuk menurunkan harga.

Tapi, hingga pekan pertama Agustus, harga daging sapi belum juga turun seperti target pemerintah. Harga masih berkisar Rp 80-90 ribu. Pasokan daging impor beku rupanya kurang diminati warga.

Bom waktu

Impor sapi siap potong jelas mengandung bom waktu, terutama soal penanganan karantina. Dalam rangka percepatan pelayanan karantina, Badan Karantina Pertanian telah mengirim dua orang dokter hewan untuk menginspeksi dan menggelar tindakan karantina pra-pengapalan di Darwin, Australia, dan di atas kapal.

Hal ini dimaksudkan agar sapi-sapi impor siap potong itu bisa segera masuk rumah pemotongan hewan setiba di Indonesia, dan tak perlu diperiksa lagi di Instalasi Karantina Hewan. Kegiatanpreshipment Inspection ini sesuai dengan kewenangan petugas karantina dalam Pasal 58 PP Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan. Intinya, agar sapi yang diimpor itu benar-benar sehat dan aman bagi masyarakat untuk dikonsumsi.

Menurut Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Kementerian Pertanian, Drh Sujarwanto, pada gelombang pertama, PT BMT berencana mengimpor 1.600 ekor sapi. Namun, hanya 1.478 ekor sapi yang lolos pemeriksaan. Sayang, penyebab 122 sapi lainnya tidak lolos belum jelas apakah karena terjangkit penyakit atau faktor lain.

Soal kandungan hormon trenbolone, pemacu pertumbuhan masa daging, yang diberikan kepada sapi-sapi pedaging asal Australia juga mencemaskan. Penelitian Dr Kisman Achmad Rasyid pada Agustus 2008, menunjukkan dari 60 sampel daging dan hati sapi impor eks Australia yang sudah dibesarkan selama 2-5 bulan di feedloter di Bogor dan Sukabumi, terdeteksi 100 persen hormone trenbolone.

Jika dikonsumsi terus-menerus, hormon trenbolone dapat menimbulkan kanker rahim dan kanker payudara pada perempuan, serta menimbulkan kanker prostat pada laki-laki. Hormon karsinogenik ini baru bisa hilang setelah sapi yang disuntik didetoksifi kasi minimal tiga bulan pasca penyuntikan.


Apalagi muncul panic policy akibat lonjakan harga daging sapi. Karena itu, sudah selayaknya kita berpikir jernih, mengambil langkah yang tepat, dan tidak gegabah, termasuk dengan tidak membuka keran impor sapi siap potong ugal-ugalan.
Penulis adalah;
Wartawan Utama, Alumni IPB

Sumber: Republika

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung