Kamis, 12 Desember 2013
Jakarta_Barakindo- Hingga
kini pemerintah dinilai masih belum juga berpihak pada peningkatan
kesejahteraan petani dan peningkatan produksi pertanian pangan dalam negeri.
Pasalnya, meskipun keputusan Konferensi Worl
Trade Organization (WTO) di Bali menyepakati adanya penambahan subsidi
pangan, namun pemerintah Indonesia belum juga berencana untuk menambah alokasi
anggaran untuk subsidi pangan.
Seperti diketahui, anggaran subsidi pangan hanya berpatok pada angka
Rp.18,8 triliun, sementara anggaran bagi perjalanan dinas para pejabat negara
dalam APBN 2014 saja tercatat sebesar Rp.32 triliun. Hal ini membuat para
pemerhati ekonomi pertanian nasional
menuding pemerintah tidak berniat mensejahterakan rakyat tani.
“Dari alokasi anggaran yang timpang itu saja dapat kita katakan, bahwa
pemerintah tidak berpihak pada rakyat tani. Lihat saja anggaran subsidi
pertanian yang jauh lebih kecil dibanding anggaran perjalanan dinas para
pejabat,” ujar Koordinator Nasional Protanikita, Bonang, Kamis (12/12/2013).
Sebelumnya, Menteri K,euangan Chatib Basri mengaku, pemerintah sangat
peduli dengan perkembangan harga pangan di pasar. Namun demikian, untuk
menambah subsidi, menurutnya, tidak perlu dilakukan saat ini. “Kita harus
lihat, apakah dengan menambah subsidi akan efektif terhadap stabilitas pangan
kita atau tidak,” ujarnya.
Chatib melihat, pemberian subsidi dalam APBN 2014 sudah sesuai dengan
porsinya. Dimana APBN tersebut disusun berdasarkan hasil kesepakatan antara
pemerintah dengan anggota Dewan Perwakilan rakyat (DPR). Dalam APBN 2014,
jumlah subsidi untuk pangan telah dianggarkan sebesar Rp 18,8 triliun.
Subsidi paling besar diberikan pemerintah untuk sektor energi yang
terdiri dari subsidi untuk BBM dan LPG sebesar Rp 210,7 triliun. Sementara
subsidi untuk listrik mencapai Rp 71,3 triliun.
Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics Finance
(INDEF) Enny Sri Hartati menilai pemberian subsidi terhadap pangan dinilai
penting dalam menjaga stabilitas harga pangan. Seperti diketahui, salah satu
penyebab terbesar inflasi adalah kenaikan harga pangan. Tingginya harga pangan
disebabkan karena minimnya supply yang ada di pasar, sedangkan permintaannya
tinggi.
Selama ini, menurutnya, pemerintah selalu mengambil jalan pintas untuk
menutupi kurangnya pasokan pangan, yaitu dengan jalan impor. Padahal cara ini
hanya menimbulkan masalah baru, yaitu ikut menekan defisit neraca perdagangan
atau current account deficit (CAD).
Selain berpengaruh terhadap CAD, mengimpor kebutuhan pangan juga rentan
terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Jika rupiah melemah, maka harga impor juga
akan terkerek naik, ujungnya harga pangan juga naik.
Namun Enny melihat masalah pangan di Indonesia tak hanya soal subsidi
yang rendah. Ia juga menilai minimnya infrastruktur untuk mendukung produksi
pertanian juga ikut menjadi penyebabnya. “Anggaran untuk irigasi dan
infrastrukturnya masih rendah juga,” ujar Enny. (Redaksi)*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar