Senin, 09 Desember 2013
Jakarta_Barakindo- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Protanikita
mengecam keptusan konfrensi tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
ke-9 di Bali. Tiga poin kebijakan yang popular disebut “Paket Bali” tersebut,
dinilai tidak memihak petani, dan justeru mendorong setiap Negara semakin
membuka kran impor terhadap produk Negara-negara maju.
“Paket Bali bahkan lebih buruk disbanding
perundingan WTO di Jenewa,” ujar Koordinator Nasional (Kornas) LSM Protanikita,
Bonang, kepada Barak, Sabtu (7/12/2013) kemarin.
Dari hasil analisis Protanikita
terhadap draf final Paket Bali, point pertama soal fasilitasi perdagangan akan
memperluas pengaruh Negara-negara maju mengakses pasar domestik semua anggota
WTO, termasuk Indonesia.
Respon lebih negative lagi dari
para pegiat, ada poin kedua soal subsidi pertanian. Memang bantuan benih dan
pupuk bias diberikan hingga 15 persen dari total output nasional, tapi ada jangka
waktu maksimal 4 tahun. Sedangkan poin ketiga, soal pembukaan akses pasar bagi Negara
miskin (LDCs) dipercaya tak akan banyak membuat perubahan berarti dalam tata
perdangan internasional.
“Sehingga keleluasaan negara kita
umtuk member subsidi kepada petani semakin sulit, dan upaya melindungi negara miskin
semakin lemah,” kata Bonang.
Disisi lain, Presiden SBY
mengapresiasi kesepakatan 160 negara anggota WTO tersebut. Meski sempat a lot karena
ditolak oleh beberapa negara, diantaranya Kuba, Bolivia, Venezuela dan
Nicaragua, pemerintah percaya Paket Bali dapat bermanfaat bagi perekonomian
dunia.
“Alhamdulillah, Paket Bali
akhirnya dengan sangat alot kemarin diupayakan. Not only free trade, but free
and fair trade. Ideologi kita begitu,” ujar SBY beberapa saat setelah KTM WTO
ditutup.
Bonang tak melihat adanya
korelasi antara optimism pemerintah dengan perlindungan terhadap petani terkait
kesepakatan WTO tersebut. “Paket Bali menghancurkan petani kita,” katanya
menambahkan, selama penyelenggaraan Indonesia hanya menjadi tuan rumah yang
baik, dan tidak serius memperjuangkan agenda yang strategis bagi kepentingan
nasional. “Selama empat hari kemarin, tidak terlihat pemerintah memperjuangkan
hak rakyat kita. Indonesia tidak lebih dari sekedar EO, penyedia ruang rapat,
menyediakan makanan enak bagi para peserta, termasuk menjemput peserta dari
hotel sampai bandara,” tudingnya. (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar