Rabu, 04 Februari 2015
Trisakti Ditikung Andi
Widjojanto
(SAMBUNGAN)- Munculnya nama Andi
Widjojanto (AW) dalam arena politik nasional, sejatinya tak jauh dari kiprah
ayahnya, Mayjen Theo Syafe’i yang memang dekat dengan Megawati. Dari Megawati lah
kiprah sukarelawan dalam pilpres 2014 diserahkan kepada AW. Namun, ditengah perjalanan,
AW kemudian berbalik arah dan membentuk kelompok sendiri. Megawati sama sekali
tidak punya kendali atas AW, bahkan sampai saat penempatan di Istana dilakukan
oleh orang-orang AW yang sama sekali kurang berpengalaman dibidang politik,
tidak punya akar massa, dan hanya rajin bergosip di Sosial Media. Mereka bukanlah
petarung-petarung politik seperti figur-figur yang masih setia berdiri pada
garis politik Megawati. Demikian dilansir http://m.kompasiana.com/post/read/720397/1/trio-macan-istana-di-ring-satu-jokowi-.html
beberapa hari lalu.
Kelemahan dasar AW adalah ketidakmampuannya dalam memprediksi gelombang
politik, tidak punya kecakapan dalam komunikasi politik, dan gagal membangun
tim yang tangguh menggelorakan semangat massa dalam agenda politik “Trisakti”.
Bahkan AW sendirilah yang disebut-sebut menikung nama “Kabinet Trisakti”
menjadi “Kabinet Kerja”.
Sejatinya, Megawati berharap, dalam kabinet Jokowi dibentuk kabinet militan
dengan menjalankan “Pesan-Pesan Revolusi Bung Karno”, yakni “Mandiri
dalam Ekonomi, Berdaulat dalam Politik, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan”.
Tiga hal ini yang menjadi dasar hasrat Bung Karno untuk membawa Indonesia lebih
jaya dan kuat di masa depan.
Namun AW nampaknya tidak faham “Garis Politik Sukarno” ini. Ia malah menempatkan
orang-orang yang tidak faham pesan politik Bung Karno dan Megawati disemua lini
Istana. Maka tidaklah berlebihan jika para politikus yang berada pada lingkaran
politik Megawati menganggap AW lebih banyak melakukan blunder politik.
Blunder itu diantaranya, AW tidak punya jaringan komunikasi politik ke
arah massa, sehingga kerap membiarkan Jokowi seperti “dipukul” sendiri, mulai
dari kasus BBM sampai kasus Jenderal BG. AW tidak melakukan koordinasi agar
bisa melindungi Presiden dari kesalahan dalam menentukan kebijakan politik
strategis. Hal lain adalah, AW gagal mendongkrak semangat Nasionalisme dalam
agenda-agenda pembangunan politik Jokowi, bahkan gaya bicaranya pun “Di
Moerdiono-Moerdiono-kan”, yang justru memberikan kesan orang linglung,
ketimbang menjadi nara sumber yang cerdas dan jelas. Jokowi adalah sosok yang
cenderung mengungkapkan secara jelas tentang apa yang di inginkannya. Tapi
belakangan, gaya bicara Jokowi seakan-akan dipelintir agar mengikuti gaya AW.
AW juga selalu membuat kesan seakan-akan Jokowi tersandera oleh
Megawati. Padahal jelas, bahwa akses Megawati sedikit demi sedikit ditutup oleh
jaringan politik AW. Lalu kenapa itu semua bisa terjadi? Karena garis politik
Megawati bukanlah garis politik AW, yang memiliki faham Neoliberal. Megawati tetap
berada di dalam lajur Nasionalis yang menolak Neoliberalisme.
Faham ekonomi liberal AW inilah yang mempengaruhi Jokowi. Maka tak
heran jika AW sering berhubungan dengan KPK yang ia ciptakan sebagai alat
politiknya. Kelompok ini berhasil menyusup ke Jokowi lewat AW termasuk LSM-LSM
yang berbasis liberal.
Tindak-tanduk jaringan LSM yang berasaskan neoliberal dan punya corong
kuat di media massa itu, ditanggapi serius oleh Jenderal Hendropriyono. Sang
Jenderal marah karena merasa Istana sudah dikuasai kelompok yang bukan lagi
berasaskan pada satu pedoman dasar “Mencintai Tanah Air, Mencintai Republik,
Membangun kedaulatan dan Berdikari di segala sektor”. Tentu saja yang marah
bukan hanya Henropriyono, tapi juga Wiranto dan Sutiyoso.
Andi juga ditugaskan LSM liberal untuk menyingkirkan kekuatan Jenderal-Jenderal
Merah Putih. Wiranto dan Hendropriyono sendiri sebagai pengusung utama Jokowi
sama sekali tidak punya peran lagi di Istana, akses mereka tertutup sama
sekali.
AW memiliki peran besar untuk mengkerdilkan Polri dengan menempatkannya
di bawah kendali menteri. Maka skenario pun dibuat. Hal-hal negative tentang Polri
secara piawai diolah oleh AW. Target pertama berhasil. AW-lah yang memanggil
para penggiat HAM masuk ke rumah transisi. Pesan tunggalnya adalah,
Hendropriyono dan Wiranto harus tersingkir dari panggung kekuasaan karena
pelanggaran HAM. Amerika pun senang, dan LSM mengapresiasi langkah AW tersebut,
sehingga AW semakin memainkan perannya menggunakan LSM dan relawan sebagai
kekuatan alternative setelah berhasil mendepak Wiranto sebagai calon Menkopolhukam.
Tapi akhirnya skenario mereka pun sempat bergeser ketika Luhut tidak berhasil
menjadi Menkopolhukam, karena diberikan rapor merah oleh KPK akibat transaksi
yang tidak wajar. Andi marah besar atas vonis KPK tersebut. Karenanya, ia pun
berteriak keras dan menuduh KPK telah membocokan rahasia Negara. Sungguh sikap
loyal yang memuaskan Sang Ayah Angkatnya, Luhut Panjaitan.
Permainan AW tidak hanya berhenti sampai disitu. Luhut harus segera
masuk ring satu istana. Informasi intelijen yang memberi peringatan atas
pergerakan kaum radikal pun diabaikan. AW dan kelompoknya tetap menjalankan skenario
politik Pan Amerika. Tanpa sepengetahuan para ketua umum Parpol pengusung
Jokowi yang menolak Luhut, melalui operasi rahasia Trio macan, secara mendadak
Luhut berhasil dilantik sebagai kepala staf kepresidenan. Inilah awal dimana
kegaduhan kekuasaan itu terjadi. (BERSAMBUNG)*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar