Kamis, 05 Februari 2015
Megawati dan PDI-P Jadi Sasaran
Kebencian Publik
(SAMBUNGAN)- Sementara Luhut
Binsar Panjaitan sendiri disebut-sebut sebagai sosok yang lincah, dan pandai
menggunakan tenaga orang untuk kepentingannya, sangat ambisius sehingga pernah
sakit parah karena terlalu bersemangat ingin menjadi juara kelas saat menjalani
pendidikan di Akabri dahulu. Luhut menampilkan dirinya sebagai “Sang Pengendali”,
namun priomidialitasnya justru menjadi kelemahannya. Singkatnya, Luhut
disebut-sebut sebagai sosok yang mau melakukan apa saja untuk mencapai
kekuasaan.
Hubungan antara Jokowi dengan Luhut sendiri cukup romantis. Sebab itulah
Jokowi percaya hingga menempatkan Rini dan Andi W pada posisi amat penting
dalam lingkaran Istana. Luhut memegang banyak perusahaan energy. Dari situlah
kemudian kekuatan modal berkelindan menjadi kekuatan yang memperbolehkan modal
asing menguasai negeri.
Lalu Dimana Posisi Jokowi ???
Posisi Jokowi sendiri saat ini adalah “diam menunggu”. Dia melihat
semua keadaan, tim Solo-pun masih belajar menyesuaikan dengan kondisi yang
penuh intrik kekuasaan.
Blusukan tidak lagi menjadi berita penting, sementara Jokowi selalu
diserang oleh konflik-konflik yang seharusnya tidak perlu. Sampai tahap ini
Jokowi sedang digerus oleh media, rating-nya
turun drastis. Satu persoalannya adalah “Karena Andi Widjojanto memberikan
nasihat agar Jokowi bersifat normatif”, padahal pada titik ini Jokowi harusnya
punya kemampuan sebenarnya, seperti konflik Hasto vs Samad dan konflik BW dan
BG.
Jokowi yang dikenal sebagai juru damai yang komunikatif, seperti ketua
RT peragu yang gagal tampil, hal ini karena disebut-sebut akibat ulah Andi
Widjojanto, yang tidak paham komunikasi politik, menyarankan agar Jokowi konservatif.
Karakter Jokowi yang amat mirip Soekarno dalam memecahkan masalah
krusial, direndahkan oleh manajemen komunikasi ala Andi Widjojanto yang gagal
melihat arah politik dan bagaimana mengelola mood publik.
Namun bukan membela Jokowi yang ia pentingkan, tapi justru “operasi
penghancuran Megawati dan PDIP-lah yang terjadi”. Seharusnya AW bisa
mengamankan agar Jokowi tidak diserang, namun AW malah mengondisikan, LSM-LSM
dan Media untuk terus menggebuk Megawati dan PDIP, hingga akhirnya konflikpun
semakin membesar.
Dibalik semua itu, ada SBY yang berdiri menunggu. Mengintai dengan
seksama apa yang terjadi. Pertemuan antara Samad dan SBY pada Desember 2014
yang meminta penangkapan Megawati harus diperhatikan secara serius dalam
pertarungan-pertarungan politik ke depan. Ucapan Ibas SBY soal “orang-orang”
SBY adalah sebuah sinyal politik, bahwa SBY amat berkepentingan terhadap konstelasi
politik yang sekarang berkembang. SBY ingin diri dan keluarganya aman dari
serangan politik dan hukum.
Megawati Jadi Sasaran Kebencian Publik
Ditengah riuhnya persoalan yang muncul, Megawati dianggap sebagai pihak
membuat Jokowi seperti tidak memiliki kepribadian seperti biasanya. Dalam hal
ini, perlu kembali dipertanyakan, kenapa tidak banyak petinggi PDI Perjuangan yang
masuk lingkaran Istana??? Kenapa akses PDI-P tertutup??? Bahkan Rieke Diah
Pitaloka yang salah satu politisi hebat PDI-P pun sama sekali tidak punya akses
ke Istana. Maka tidaklah berlebihan jika ia ber-”nyanyi” di twitter-nya. Bisa
dibayangkan, bagaimana sosok Rieke yang mati-matian berjuang untuk kemenangan
Jokowi tidak dapat menembus “protokoler” Istana.
Sementara dipihak lain, ada sekelompok akademisi yang secara politik
gampang mengakses Jokowi. Bisa ditanyakan juga kenapa Rieke gagal ditempatkan
sebagai Menteri Tenaga Kerja (Menaker)??? Padahal dialah kader Partai paling
brilian dalam persoalan-persoalan tenaga kerja. Begitu pula ketika Budiman
Soedjatmiko dalam Kementerian yang berkaitan dengan Kesejahteraan Desa. Benar,
bahwa PKB menguasai jaringan kementerian tersebut, tapi PDIP mengalah. Ada apa
sebenarnya???
Penulis dalam laman, http://m.kompasiana.com/post/read/720397/1/trio-macan-istana-di-ring-satu-jokowi-.html
menyarankan kepada para pengamat politik untuk mengkaji kenapa Megawati selalu
dijadikan sasaran kebencian publik, padahal sebenarnya dia lebih banyak diam. Inilah
yang harus diungkap ke publik. Hanya segelintir orang yang mengetahui, bahwa Megawati
sama sekali tidak mendukung Rini masuk dalam kabinet, juga berjarak dengan
Luhut. Megawati pun telah melepas Andi W, sebab Megawati sudah menganggap AW
bukan bagian dari wilayah politiknya.
Kini rakyat berteriak menganggap Megawati sebagai “Pengendali Jokowi”.
Pertanyaannya, Megawati punya apa untuk mengendalikan Jokowi. Secara kekuatan
ekonomi politik, pengendali Jokowi sebenarnya adalah pada kelompok Trio Macan
Istana.
Pada akhirnya benarlah kata Adian, salah satu kader paling tangguh
milik PDIP, bahwa “politik di sekitar Istana memang mengerikan. Ada penjilat,
ada para munafik, ada pembisik informasi palsu, ada yang diam-diam tapi
pengkhianat, ada yang manggut-manggut tapi menikam dari belakang, ada
mata-mata, ada agen rahasia, ada yang mengancam dengan kata, ada yang dengan
senjata, ada yang dengan guna-guna, si jahat bekerja di dunia nyata hingga
maya. Di Istana ada ribuan kepentingan yang bekerja dengan jutaan cara”.
Ucapan Adian itu tentu saja merefleksikan, bahwa PDIP yang mengalah
luar dalam, tapi masih terus digebuki. Lalu pertanyaannya, kenapa pula PDI Perjuangan
terus-terusan dihajar dan menjadi sasaran kebencian publik??? Politik selalu
memberikan jawaban dikemudian hari. Karena itulah pertarungan politik diukur dari
seberapa yakin dan teguhnya prinsip para pelakon-nya. Mari kita lihat siapa
yang akan memenangkan pertarungan politik ini, apakah kelompok nasionalis yang
sudah menetapkan Trisakti Soekarno dalam jalan hidupnya, ataukah kelompok
kepentingan pragmatis yang mendompleng popularitas Jokowi??? Demikian tulisan Raden
Brandal Lokajoyo dalam laman http://m.kompasiana.com/post/read/720397/1/trio-macan-istana-di-ring-satu-jokowi-.html.
(SELESAI)***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar