Selasa, 24 Maret 2015
Pembentukan Badan Pangan
Nasional Mendesak
Oleh: Sukmadji Indro Tjahyono
DIREKTUR Utama Perum Bulog, Lenny
Sugihat yang ditunjuk dan dilantik secara sembunyi-sembunyi pada 31 Desember
2014, ternyata bagai Srikandi terserang penyakit Tetelo. Fungsi BULOG untuk menstabilkan
harga pasar tersungkur, karena harga beras melejit hingga 22 persen berada pada
kisaran 10-12 ribu rupiah per kilogram. Bingung apa yang harus dilakukan, Perum
Bulog langsung menggelar Operasi Pasar (OP) kilat di seluruh Indonesia. Namun
sayang, OP Bulog kali ini “impoten” turunkan harga.
Tidak hanya itu, Presiden Joko Widodo terpaksa terjun langsung saat OP on the spot. Tapi lagi-lagi anehnya,
meskipun Presiden sudah blusukan ke pusat-pusat perdagangan dan gudang beras,
harga beras tidak juga bergeming. Menteri perdagangan menuduh, ada mafia yang
bermain dalam penyaluran beras. Padahal OP
dilakukan langsung ke komunitas menggunakan kendaraan militer TNI.
Seperti dikatakan presiden, kelangkaan beras adalah modus untuk kembali
menjebol saluran impor setelah jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo menyatakan
impor beras akan di stop. Apapun yang telah dilakukan Bulog, sampai detik ini
harga beras tetap bertengger di papan atas pada harga tertinggi sejak BULOG
berdiri.
Lalu Mengapa Bisa Terjadi ???
Sejak dijadikan Perum (Perusahaan Umum), Bulog diharapkan lebih
konsinten menjalankan tugas dan fungsinya berbasis pada mekanisme pasar. Karena
itu, apa yang dilakukan Bulog terbatas hanya mempengaruhi hukum permintaan (demand) dan pasokan (supply) sebagai variabel dari harga beras. Jika harga beras melambung, pasokan
beras akan ditambah dengan mengambil stok beras yang disimpan di gudang-gudang Perum
Bulog. Pasokan ini di distribusikan kepada pedagang beras atau melalui OP langsung
kepada konsumen.
Tentu tugas dan fungsi Bulog melakukan stabilisasi harga berlawanan
dengan kepentingan para pedagang yang menginginkan keuntungan dan harga beras
tetap tinggi. Pedagang di lain pihak juga ingin stok beras yang mereka miliki
tetap mencukupi untuk memainkan spekulasi atau tarik-ulur dalam kontek hukum demand-supply ditingkat pasar. Mereka
akan menahan pasokan di gudang mereka, dan akan melepas sedikit-sedikit agar
harga beras tetap tinggi.
Bahkan, jika “kelangkaan beras buatan” ini kemudian diantisipasi oleh Bulog
dengan menambah volume beras di pasar,
dan dilakukan operasi pasar, pedagang justru menyimpan pada gudang-gudang
rahasia milik mereka lagi. Mereka juga bisa memborong beras yang disalurkan Bulog
melalui OP dengan mengerahkan banyak orang. Gerakan mereka sudah seperti mafia, karena dilakukan secara
tertutup dan melibatkan jaringan pedagang yang tersebar diseluruh Indonesia.
Apa yang dilakukan mafia pedagang beras ini, tentu berjalan lancar
berkat bantuan orang dalam Bulog, atau justru difasilitasi oleh oknum-oknum di
Perum Bulog. Sudah banyak terjadi penyaluran beras fiktif oleh oknum-oknum di
Perum Bulog yang nakal. Hal ini tentu menolong mafia pedagang beras yang
menginginkan tetap terjadi kelangkaan, agar harga beras tetap tinggi dan tidak
menggerus keuntungan mereka. Oknum-oknum di Perum Bulog ini adalah sisa-sisa
pasukan mantan Dirut Bulog pada saat Bulog masih menggunakan paradigma lama
yang menjadikan Bulog sebagai ATM atau sapi perah penguasa (partai politik).
Ulah Oknum-Oknum Nakal
Dengan pernyataan Presiden Jokowi, bahwa Indonesia akan menerapkan
prinsip kedaulatan pangan dan melarang impor beras, maka nasib oknum-oknum Bulog
yang koruptif tersungkur. Oknum-oknum yang juga bermain, baik dalam pembelian
maupun dalam penyaluran akan semakin tersudut. Mereka ini diduga menciptakan
kelangkaan beras berkomplot dengan para mafia beras agar kran impor beras kembali dibuka.
Permainan impor beras di Bulog sudah menjadi rahasia umum. Selisih yang
tinggi antara harga beras di negara pengekspor dan Indonesia sebagai negara
importir cukup besar. Terlebih selama ini, Perum Bulog mengimpor beras stok lama dari gudang negara eksportir. Karena
itu, korupsi impor beras merupakan korupsi yang paling signifigkan, sehingga
oknum-oknum Bulog yang bermain di sini harus mempertahankannya mati-matian.
Beras inilah yang dijadikan sebagai sebagian stok Bulog.
Oknum-oknum di Bulog tidak merasa risih mendistribusikan beras di bawah
standar mutu dan tidak layak konsumsi. Sebelum Lenny Sugihat dilantik menjadi Dirut
Bulog, diperkirakan terdapat 1,7 juta ton beras stok lama. Untuk memperbaiki
mutu agar layak konsumsi dibutuhkan dana sebesar 2,5 triliun rupiah. Itulah warisan
Direksi masa lalu.
Beras yang dikecam oleh masyarakat dan LSM diberbagai daerah tersebut
adalah beras yang disalurkan melalui OP dan raskin. Karena sangat buruknya
kualitas, beberapa orang menggunakan untuk makanan ternak. Sedangkan kualitas beras
yang tersimpan dibeberapa gudang Bulog seperti di Banjarnegara, Tegal, Grobogan,
Kebumen dan lainnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Inpres Perberasan.
Cara Baru Manipulasi di Bulog
Korupsi gaya lama di Perum Bulog cukup kompleks. Misalnya dengan memainkan
harga pembelian dan mutu gabah atau beras yang dibeli. Beras dengan kadar air
tinggi tetap dibeli menggunakan harga normal dengan memainkan alat pengukur
kadar air. Beras dengan kadar air lebih tinggi tentu akan cepat membusuk selama
penyimpanan. Tetapi beras dengan kualitas rendah dan tidak layak konsumsi ini
tetap didistribusikan, karena di labeli sebagai beras raskin.
Oknum-oknum Bulog juga membuat laporan-laporan manipulatif tentang
jumlah gabah yang dibeli dan digiling. Biasanya ada puluhan atau sampai ratusan
truk yang berkeliling membawa gabah di administrasikan sebagai gabah yang akan
“digiling”. Anehnya, rombongan yang sama membawa gabah yang sama ke
penggilingan lain untuk dicatat sebagai gabah hasil pembelian Bulog. Inilah
yang sering disebut sebagai pembelian fiktif.
Yang lebih mutakhir, oknum-oknum Bulog melakukan korupsi secara
portofolio. Obyek korupsi jenis ini adalah manipulasi bantuan dari Bank Bukopin
milik Bulog dengan pemberian suap 2%-3% selisih bunga jasa giro, korupsi fee (10%-20%) dalam pembelian
barang-barang dan bangunan untuk Bulog, pencucian uang hasil korupsi melalui
Bank Bukopin, serta korupsi dana (tunai dan kredit) yang didapat dari Bank
Bukopin untuk berbagai kepentingan Bulog. Korupsi secara portofolio ini pada
masa mantan Presiden SBY sulit diungkap, karena Bulog bisa jadi adalah ATM
untuk Partai Demokrat.
Kecenderungan menteri BUMN Rini M Soemarno menunjuk orang-orang bank
menduduki BUMN, Seperti PLN dan Bulog, dikhawatirkan akan melanjutkan modus
korupsi protofolio Bulog semasa SBY. Hal itu ditengarai dengan pernyataannya,
bahwa raskin akan diganti dengan pemberian uang tunai untuk masyarakat miskin. Pendistribusian
raskin secara in natura saja telah
menciptakan korupsi penyaluran beras secara gila-gilaan, apalagi jika raskin
diganti dengan uang.
Sebagai Dirut Bulog, Lenni Sugihat, mantan Direktur management Resiko
BRI bisa mamainkan hal sama seperti yang dilakukan oleh Sofyan Basir saat
menjabat Dirut Bukopin. Lenni bisa memanipulasi fee dalam setiap pembelian untuk kebutuhan Bulog atau sebaliknya
sebagai Dirut dapat mendongkrak kebutuhan-kebutuhan Bulog yang berdampak kepada
peminjaman dana dari BRI. Apalagi melihat oknum pelaku korupsi di Bulog masih
berada disekitar Lenni Sugihat.
Hal ini patut dicermati, karena mengindikasikan bahwa modus korupsi
portofolio Bulog semasa Sutarto Ali Moeso teman dekat SBY menjadi Dirut Bulog
akan terulang kembali. Langkanya beras dan kenaikan harga yang tinggi dicurigai
adalah permainan atau kiprah para mafia beras untuk mendapat jastifikasi impor
kembali. Ini dapat dipahami karena korupsi selisih harga pembelian yang didapat
dari bantuan kredit beras (dari BRI) cukup tinggi, yakni sekitar 10-20 persen.
Perlu
Badan Pangan Yang Powerfull
Melihat dinamika dan dialektika dalam pelakasanaan tugas dan fungsi
Bulog selama ini, persoalan yang timbul jelas tidak mungkin diselesaikan
melalui pemikiran teoritik-akademis. Sekalipun
diserahkan seribu dokter dan profesor untuk memperbaiki kinerja Bulog ini,
tentu akan sia-sia. Apa yang terjadi di Bulog kebanyakan merupakan penyimpangan-penyimpangan
pada tataran menajerial dan teknik, tetapi bukan kesalahan-kesalahan pada
kebijakan dan strategi.
Selain itu kepemimpinan dan mentalitas para aktor sangat dominan dalam
menentukan keberhasilan dan kegagagalan Bulog dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Kemampuan Bulog menjaga kredibilitas kelembagaannya sangat penting mengingat
banyak kepentingan yang bermain dalam urusan pangan. Bulog memerlukan minimum
posisi tawar politik, ekonomi, dan sosial agar Bulog mampu menjalankan tugas
dan fungsinya serta berkoordinasi dengan sektor-sektor lain terkait pangan.
Bulog harus menyadari bahwa perberasan memiliki kompleksitas persoalan
yang melibatkan berbagai sektor terkait beras/pangan. Bulog bukan sekedar agen
yang melakukan stabilisasi harga dengan mengendalikan kebutuhan dan pasokan. Beras
harus dijaga kuantitas, kulaitas, dan kontinuitasnya, sehingga mampu memenuhi
hajat orang banyak. Dalam hal kontinuitasnya, Bulog harus mampu menjaga stok
yang cukup untuk jangka waktu tertentu dan mampu memobilisasi pendistribusian beras
secara cepat.
Untuk itulah bidang pangan harus memiliki dua lembaga yang memiliki
tugas dan fungsi berbeda, apalagi jika Indonesia berorientasi pada kedaulatan
pangan. Kebijakan dalam produksi pangan atau kebijakan bidang pertanian harus
mampu memback-up tugas dan fungsi Bulog
menjaga kuantitas, kualitas dan kontinuitas dalam penyelenggaraan pangan,
khususnya beras. Faktor-faktor produkasi pertanian atau agrikultur seperti
lahan, sumber daya petani, tekhnologi, dan sarana produksi pertanian harus
terselenggara dengan baik. Hal ini akan melibatkan tugas dan fungsi banyak kementerian
dan lembaga pemerintah.
Oleh karena itu, harus dipisahkan antara badan yang berurusan dengan
kebijakan-kebijakan yang mendukung prinsip kedaulatan pangan dan badan yang
bertanggungjawab menjalankan kebijakan alias operator ditingkat lapangan. Pertama,
adalah Badan Pangan Nasional (BPN) yang bertugas merumuskan kebijakan multi dan interdisipliner berbagai sektor terkait pangan secara menyeluruh
dan terpadu. Kedua, adalah Badan Urusan Logistik (Bulog) yang bertugas dalam mejalankan
kebijakan atau bersifat operasional.
Dengan adanya BPN, maka Bulog tidak bekerja sebagai agen tunggal dalam
menjalankan tugas dan fungsinya untuk menjaga stok dan melakukan stabilisasi
harga. Pada saat krisis stok beras dan menerapkan kebijakan tanpa impor, Bulog
akan di back-up oleh kebijakan
pertanian yang taft. Bulog bisa
didorong menjalankan kebijakan onfarm
agar produksi besar mampu berfungsi sebagai substitusi impor dan menjamin stok
beras yang aman. Dengan demikian Bulog punya posisi tawar yang substansial
dalam mengantisipasi kiat-kiat mafia beras.***
Penulis Adalah: Pengamat
Pangan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar