Rabu, 29 April 2015
Pidato
Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada segenap pemuda-pemudi
di seluruh Indonesia, terutama sekali pemuda-pemudi sekolah menengah, pada
waktu hendak meletakkan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet Pertanian di
Bogor pada tanggal 27 April 1952 [dicopy dari Almanak Pertanian 1953 hal: 11 –
20; di-EYD-kan oleh Winarso D Widodo]
Merdeka!
Saya diminta untuk meletakkan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet
Pertanian, Universitet Indonesia. Permintaan itu, saya hendak menyampaikan
beberapa kata lebih dahulu. Dengan sengaja pidato saya ini saya tuliskan, agar
supaya merupakan risalah yang nanti dapat dibaca dan dibaca lagi dan dibaca
lagi oleh pemuda-pemudi kita bukan saja dari sekolah tinggi ini, tetapi dari
seluruh tanah-air kita. Malah, sekarangpun saya mengarahkan kata kepada
pemuda-pemudi di seluruh Indonesia itulah. Sebab, apa yang hendak saya katakan
itu, adalah amanat penting bagi kita, amat penting – bahkan mengenai soal mati-hidupnya
bangsa kita dikemudian hari. Karena itu, pidato saya ini agak panjang, dan
perletakan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet Pertanian tak dapat kulakukan
pada saat yang dirancangkan.
Ya, pidato saya mengenai
mati-hidup bangsa kita dikemudian hari, oleh karena soal yang hendak saya
bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat. Cukupkah persediaan
makan rakyat kita dikemudian hari? Kalau tidak, bagaimana caranya menambah
persedian makanan rakyat itu? Peristiwa sebagai yang kita hadiri sekarang ini,
ialah: perletakan batu-pertama dari pada suatu sekolah tinggi pertanian, adalah
satu kesempatan yang baik untuk menyampaikan kata-kata langsung kepada
pemuda-pemudi kita berkenaan dengan soal yang amat penting itu, kepada
pemuda-pemudi, yang dalam tangan merekalah mati-hidupnya bangsa kita dikemudian
hari.
Pemuda-pemudi! Engkau sekarang hidup dalam satu jaman yang penuh dengan
soal-soal, satu jaman yang penuh dengan problem. Salah satu dari pada
problem-problem makanan rakyat. Engkau telah mengalami sendiri: di waktu yang
akhir-akhir ini surat-kabar surar-kabar dan tuturan-tuturan di kampung-kampung
penuh dengan kata-kata: “harga beras naik gila-gilaan”, “disana-sini ada
mengancam bahaya kelaparan”, “di desa ini dan di desa itu ada orang makan
bonggol pisang”, “di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem”,
“di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada
anak-isterinya”, dan lain-lain tuturan sebagainya lagi. Dan sebagaimana biasa,
selalu ada saja seorang yang dikambing-hitamkan, yang harus memikul segala
kesalahan, atau segerombolan orang-orang yang dikambing-hitamkan karena
disangka telah berbuat segala kesalahan. Terutama sekali orang-orang yang duduk
dalam badan-badan pemerintahan harus bersedia menjadi kambing-hitam itu, yang
di kepalanya diturunkan segala hujan-hujan tuduhan yang segar-segar, yakni
harus bersedia dijadikan orang yang selalu dihantam, yang kepalanya seperti “kop
van jut”.
Siapa yang sebenarnya salah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah
kita selidiki beberapa kenyataan yang mengenai persediaan beras. Menurut
statistik 1940, bangsa kita didalam satu itu rata-rata, dus tiap-tiap orang,
memakan 86 kg beras. Ini belum terhitung jagung, belum terhitung ubi kayu, ubi
jalar, kacang-kacangan, dan lain-lain sebagainya lagi!
Kalau kita memakai angka tahun 1940 itu sebagai dasar, berapa beraskah
yang kita butuhkan untuk sekarang? Sekarang dijumlahkan rakyat kita ialah
75.000.000 jiwa. Maka beras yang kita butuhkan untuk memberi tiap-tiap orang 86
kg beras setahun ialah : 75.000.000 × 86 kg == 6.450.000.000 kg , atau dengan
sebutan lain : 6,45 milyun ton [milyun = juta - wdw]. Yang kita butuhkan.
Sekali lagi: yang kita butuhkan, sekarang. Tetapi: Berapa persediaan beras kita
sekarang? Artinya: Berapa jumlah produksinya sawah-sawah kita, ladang-ladang
kita? Jumlah produksi sawah-sawah kita dan ladang-ladang kita, kalau
dibandingkan dengan tahun 1940, tidak mundur, tetapi jumlah itu toh tidak
mencukupi kebutuhan: hasil padi kita setahunnya sekarang hanya 5.5 milyun ton
lebih sedikit. Padahal kebutuhan hampir 6.5 milyun ton! itulah sebabnya kita
kekurangan beras. Itulah sebabnya kita tiap2 tahun harus membeli beras dari
luar. Dari Siam, dari Saigon, dari Burma. Ini tahun saja kita harus mencari
beras 700.000 ton, atau 700.000.000 kg. Dan ketekoran kita makin lama makin
bertambah.
Engkau mengetahui: bangsa kita selalu bertambah jumlah. Ditahun-tahun
yang akhir ini ditanah-air kita tiap-tiap tahunnya dilahirkan bayi 2.000.000
orang, dan ditiap-tiap tahunnya meninggal dunia 1.200.000 orang. Ini berarti
Indonesia bertambah penduduk tiap-tiap tahun 800.000 orang. Sekarang! Tidak
lama lagi tambahnya penduduk Indonesia tiap tahunnya bukan 800.000 orang,
tetapi 1.000.000 orang. Dan tidak lama lagi 1.000.000 orang ini menjadi 1¼
milyun orang, 1½ milyun orang, 1¾ milyun orang, 2 milyun orang! Tambahnya penduduk
amat cepat, tetapi tambahnya produksi beras amat pelan. Maka tiap-tiap tahun, met
de regelmaat van een klok, tiap-tiap tahun, zonder ampun, tiap-tiap tahun, mau
tidak mau, mengaduh atau tidak mengaduh, kita menghadapi problem kekurangan
beras : sekarang 700.000 ton, besok 800.000 ton, besok lagi 900.000 ton, besok
lagi 1.000.000 ton !
Itupun kalau kita setiap orangnya makan sekadar sebanyak makanan kita
sekarang, dan tidak lebih. Padahal, sudah cukupkah makanan kita sekarang ini
per orangnya, untuk bisa menjadi satu bangsa yang sehat dan kuat?
Mari saya ambil angka-angka tahun 1940. Didalam tahun itu jumlah
makanan di Indonesia, kalau dibagi rata-rata antara rakyatnya, menjadi: 86 kg
beras, jagung 162 kg, ubi kayu 30 kg, ubi jalar. Bilamana angka-angka ini
diperhitungkan dalam nilai kalori, maka jumlah kalori yang dimakan oleh satu
orang setahun ialah 624.960, atau 1712 kalori seorang sehari. Dus kalau kita
sudah senang dengan 1712 (bundarnya 1700) kalori seorang sehari saja, kita
sudah menghadapi tekort beras tiap-tiap tahun sekarang 700.000 ton, nanti
800.000 ton, nanti lagi 1.000.000 ton!
Sudahkah kita senang dengan 1700 kalori seorang sehari sebagai dalam
tahun 1940 itu? Kemarin dulu aku suruh menanya kepada Dr. Purwosudarmo,
sekretaris Panitia Negara Perbaikan Makanan, dan kalori dimakan oleh bangsa
Indonesia seorang sehari sekarang, dan berapa kalori seharusnya untuk menjadi
satu bangsa yang sehat dan kuat. Beliau menjawab: 1850 kalori seorang sehari
sekarang, dan harus dijadikan 2250 kalori seorang sehari di kemudian hari. Maka
aku mulai menghitung. Tidak lama 8 tahun itu, yaitu sekadar satu jumlah tahun
yang engkau butuhkan untuk menjadi pemuka-pemuka praktis dalam masyarakat.
1960! Aku taksir jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu ±83.000.000 jiwa,
yaitu 8.000.000 lebih dari pada sekarang. 8.000.000 orang ini harus juga kita
beri makan 624.960 kalori, yaitu 1712 kalori satu orang sehari. Kalau banyaknya
kalori buat satu orang satu tahun kita biarkan sekian saja, yaitu 624.960 tidak
kita tambah, maka buat 8.000.000 orang itu harus kita adakan persediaan kalori
8.000.000 × 624.960 kalori = ±5.000.000.000.000 kalori. Beberapa beraskah ini?
Ketahuilah: 100 gram beras merupakan 340 kalori. Maka kalau engkau hitung,
engkau akan mendapat: 5.000.000 milyun kalori itu berarti ± 1.5000.000 milyun
gram beras, atau ± 1.500 milyun kg beras, atau ± 1.5 milyun ton beras.
Coba pikirkan:
Sekarang saja sudah tekort 0,7 milyun ton beras. Didalam tahun 1960
akan tekort 0,7 milyun ton beras + 1,5 milyun ton beras = 2,2 milyun ton beras!
Itupun: kalau kalori makanan rakyat kita perbiarkan pada 1712 kalori seorang
sehari! Panitia Negara Perbaikan Makanan minta 2250 kalori seorang sehari!
Engkau barangkali ingin mengetahui angka-angka kalori makanan rakyat di negeri-negeri
lain? Perhatikan! Menurut perhitungan Food and Agriculture Organization, orang
makan tiap hari: di India 2121 kalori – di Burma 2348 kalori – di Cuba 2918
kalori – di Malaya 2337 kalori – di Ceylon 2167 kalori – di Indo China 2127
kalori, semuanya lebih banyak dari pada Indonesia! Didalam angka-angka itu
dimasukkan juga kalori dari bahan-bahan gajih. Berapa kalori yang dimakan orang
kulit putih? Di negeri Belanda setiap hari orang makan 2958 kalori, di
Australia 3128 kalori, di Amerika 3249 kalori!
Pemuda-pemudi Indonesia, apakah perbiarkan bangsamu hidup dari ±1700
kalori seorang sehari? Tidak? Engkau ingin cita2 Panitia Negara Perbaikan
Makanan terlaksana! Dus 2250 kalori seorang sehari? Hitunglah sendiri, kalau
begitu, berapa jumlah beras kita harus tambahkan kepada persediaan makanan
rakyat, buat tahun 1960, yang berpenduduk 83.000.000 jiwa itu! Mari kita
hitung:
2250 kalori seorang sehari, dus 550 kalori lebih dari pada sekarang.
Buat 75.000.000 penduduk yang sekarang sudah ada itu saja, ini berarti
minta tambahan kalori: 75 milyun × 550 × 365 (1 tahun = 365 hari) = ±
15.000.000 milyun kalori. Dan buat 8 milyun penduduk yang bertambah itu,
dibutuhkan:8 milyun × 2250 × 365 = ± 6.500.000 milyun kalori ditambah
6.500.000 milyun kalori = 21.500.000 milyun kalori. Dihitung dalam beras – 100
gram beras = 340 kalori – ini berarti 100/340 × 21.500.000 milyun gram beras =
6.300.000 milyun gram = 6,3 milyun ton. Menjadi: kalau kita mengingini bangsa kita dalam tahun
1960 makan 2250 kalori seorang sehari, maka produksi makanan kita harus kita
tambah dengan 6,3 milyun ton setahun, dalam bentuk beras, atau aequivalentnya
beras. Bagaimana kalau kita beri bentuk lain dari pada beras? Malah lebih lagi
dari 6,3 milyun ton! Dalam bentuk jagung 6,3 milyun ton itu menjadi ± 7 milyun
ton. Dalam bentuk ubi jalar ± 15 milyun ton. Dan dalam bentuk ubi kayupun ± 15
milyun ton!
Dan kalau tidak kita tambah produksi? Kalau tidak kita tambah produksi,
maka tiap – tiap orang hanya akan makan
± 1547 kalori saja. Maka banyak orang akan kelaparan. Maka keadaan kita
akan makin kocar – kacir. Maka kejadian2 yang menyedihkan yang telah kita alami
sekarang ini akan terjadi terus – terusan secara permanent, bahkan permanent in
het kwadraat dan menyedihakan in het kwadraat: hongeroedeem akan terdapat
dimana – mana; penyakit2 lain akan menjalar karena badan lemah kekurangan
resistensi: keamanan akan terganggu terus – menerus tidak putusnya; orang akan
bunuh – membunuh perkara beras; prestasi kerja akan merosot serendah –
rendahnya mala petaka kebinasaan akan menjadi hantu yang bersinggah di milyunan
rumah.
Mengertikah engkau bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan
hari kemudian yang amat ngeri, bahkan satu todongan pistol “mau hidup atau kah
mau mati”, satu tekanan tugas “to be or not to be”? didalam tahun 1960 nanti tekort
kita sudah akan 6,3 milyun ton,- berapa milyun ton nanti dalam tahun 1970 kalau
penduduk kita sudah menjadi 90 – 95 milyun dan berapa lagi dalam tahun 1980
kalau penduduk kita lebih dari 100 milyun? Engkau, pemuda – pemudi, engkau
terutama harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari kemudian adalah harimu, alam
kemudian adalah alammu, - bukan alam kami kaum tua yang vroeg of laat akan di
panggil pulang kerakhmattullah. Engkau tidak dapat memecahkan soal ini sekadar
dengan sikap cynisme, seperti sikapnya setengah pemimpin – pemimpin diwaktu
sekarang, yang hanya bisa menuduh, hanya bisa mencela, hanya bisa mencari dan
mendapatkan orang – orang yang dicapnya, kambing hitam, dan dititiri kepalanya
sebagai kop van jut. Tidak, soal makanan rakyat ini tidak dapat dipecahkan
dengan cynisme, dengan sekadar menuduh, dengan sekadar mencemooh. Sebab
kesulitan soal ini terletak obyektif kepada ketidak-seimbangan antara produksi
dan konsumsi, antara persediaan yang ada dan jumlah mulut yang memakannya, dan
tidak subyektif karena durhakanya sesuatu orang. Tiap tahun, zonder kecuali, zonder
pauze, zonder ampun, soal beras ini akan datang – dan akan datang crescendo –
makin lama makin hebat – makin lama makin sengit – makin lama makin ngeri –
selama tambahnya penduduk yang cepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnya
persediaan bahan makanan yang cepat pula!
Maka, pemuda-pemudi, dapatkah
persediaan bahan makanan itu kita tambah?
Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah! Tetapi tidak sekadar
dengan cynisme, tidak sekadar dengan “main politik”, melainkan dengan bekerja
keras atas dasar mengerti jalan – jalannya memecahkan problem yang sulit ini.
Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah:
Pertama : dengan berikhtiar memperluas daerah pertanian kita.
Kedua : dengan menggiatkan (meng-intensivir) usaha pertanian kita,
khusus dengan seleksi dan pemupukan. Dua jalan ini harus kita tempuh! Marilah
kita kupas sekadarnya :
Kemungkinan memperluas daerah pertanian kita – artinya: menambah
luasnya sawah-sawah kita dan ladang-ladang kita, masih mungkin, tetapi
janganlah orang kira kemungkinan itu tiada batasnya. Di Jawa kemungkinan itu
hampir tidak ada lagi. Di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Seram, dan
lain-lain pulau lagi, kemungkinan itu masih ada tetapi janganlah orang mengira
bahwa tiap tempat yang sekarang tertutup hutan, atau tiap tempat yang masih
kosong, adalah baik buat pertanian. Ya, Sumatera dan Kalimantan penuh dengan
rimba-rimba raya yang luasnya “pitung pandeleng”, tetapi hanya sebagian saja
dari rimba-rimba itu tanahnya baik buat bercocok tanam. Penyelidikan “Balai
Penyelidikan Tanah (Bodemkundig Instituut) sementara menunjukan angka-angka
sebagai berikut :
·
Luas
Sumatera 47.360.000 ha
·
Luas Kalimantan
kita 53.950.000 ha
·
Luas
Sulawesi 18.900.000 ha
·
Luas Irian
kita 38.000.000 ha
·
Jumlah luas empat pulau ini 158.210.000 ha
Berapa ha dari 150.000.000 ini yang baik buat pertanian? Ternyata
sebagian dari tanah itu, dengan pandangan selanyang-pandang saja, terang tidak
memberi harapan baik buat pertanian ialah, oleh karena kwalitet tanahnya bentuk
topografinya, (keadaan airnya) tidak sesuai dengan syarat-syaratnya pertanian.
Maka dengan mengecualikan tanah-tanah yang selanyang-pandang saja sudah nyata
tidak baik buat pertanian itu, telah dipetakanlah atau sekadar di tinjau
sejumlah tanah di Sumatera 5.359.000 ha, di Kalimantan kita 740.000 ha,
Sulawesi 669.000 ha, di Irian kita 965.000 ha, total 7.733.000 ha, tetapi dari
7.733.000 ha inipun ternyata tidak semua betul-betul baik bagi pertanian. Yang
betul-betul baik ternyata hanyalah sedikit lebih dari 1.000.000 ha, atau hanya
14%.
Memang ada lagi disamping tanah-tanah tersebut, sejumlah tanah gambut (veengronden)
yang luasnya bermilyun-milyun ha, yang sampai kini belum diusahakan untuk
pertanian dan mungkin dapat dipakai untuk pertanian, tetapi di Indonesia tanah-tanah
itu masih sama sekali satu hal yang belum diselidiki
kemungkinan-kemungkinannya, satu “terra incognita” yang masih gelap bagi kita,
meskipun di Amerika dan Eropah orang sudah mencapai hasil pertanian yang baik
diatas tanah-tanah yang demikian itu.
Alhasil: luasnya daerah pertanian di Indonesia ini masih dapat lagi
dengan sedikitnya 1 milyun ha, kalau tidak 1½
milyun ha, atau baranghkali 2 milyun ha. Tanah-tanah di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Irian itu memang menunggu transmigran-transmigran
kita, menunggu pacul dan bajak, tractor-tractor dan mesin-mesin pengetam padi,
menunggu pekerja-pekerja, yang dibawah pimpinan pemuda- pemudi kita,
bersama-sama dengan mereka membanting tulang dan mengulurkan urat, mencucurkan
keringat habis- habisan sesuai dengan firman Allah “inamaal usri yusra”, - “in
het zweet uws aanscijns zult gij uw brood verdienen”
Kecuali dengan memperluas daerah pertanian kita, maka sebagai kukatakan
tadi, harus ditempuh pula jalan lain untuk menambah persediaan makanan kita.
Jalan lain itu ialah mengintensivir usaha pertanian kita, khusus dengan
seleksi dan pemupukan. Jalan lain itu malahan harus kita usahakan pula bener-bener.
Oleh karena kemungkinan untuk menambah luasnya daerah Sawah kita – perhatikan:
Sawah, artinya Sawah basah – adalah terbatas sekali. Sawah berarti Air, dan air
memang tidak selalu ada untuk pengairan yang sempurna. Luas sawah di Indonesia
sekarang ini adalah + 4½ milyun ha, antaranya 3.384.000 ha di Pulau Jawa. Di
Jawa diantara tahun 1931 dan 1940 luasnya sawah hanyalah bertambah dengan
100.000 ha atau tak lebih dari 3%, dan saya kira maximumnya, memang sudah
hampir tercapai.
Mengintensivir pertanian kita, itulah amat penting. Perhatikan misalnya
hasil baik yang kita capai dengan usaha seleksi dilapangan padi basah. Dulu
kita belum kenal dengan jenis padi basah yang sekarang kita namakan Bengawan.
Tetapi berkat usaha Ilmu Pertanian, dengan jalan kawin-mengawinkan
bermacam-macam jenis, akhinya terdapatlah satu jenis yang dinamakan padi Bengawan,
yang betul-betul padi yang “allround”: ia kebal terhadap penyakit mentek, ia
punya kwalitet beras adalah baik, ia punya nasi enak sekali rasanya dimakan, ia
punya jumlah produksi lebih tinggi daripada padi yang kita kenal sebelum itu.
Ia memberikan hasil-tambah rata- rata 8 quintal padi se-ha-nya, atau 4½ quintal beras se-ha-nya. Berapa luasnya sawah
yang sudah nyata dapat ditanami dengan padi Bengawan itu? Jumlah ini menurut
penyelidikan ialah 1.000.000 ha yang dapat ditanami dengan satu jenis lain,
yang juga banyak produksinya, meskipun tidak sebanyak padi Begawan itu. Maka
menurut perhitungan, cara menanam padi hasil seleksi itu saja kita dapat
memperoleh tambahan 1.080.000 ton padi, atau 600.000 ton beras satu jumlah yang
amat lumayan sekali. Tetapi kenyataan yang menjadi hambatan ialah, bahwa pada
umumnya sesuatu jenis padi mempunyai daya menyusuaikan diri yang amat kecil,
mepunyai aanpassingsvermogen yang amat kecil. Jenis padi yang memuaskan di sesuatu
daerah, belum tentu memuaskan bila ditanam di suatu daerah yang lain. Jenis
padi harus di-perdaerahkan lebih dulu. Sebelum padi Bengsawan itu bisa
disiarkan di seluruh kepulauan Indonesia, maka perlulah lebih dulu Balai-balai
seleksi daerah diberpuluh- puluh tempat. Dan disamping pusat-pusat penyelidikan
daerah itu, maka haruslah pula diadakan Organisasi untuk menyebarkan
hasil-hasil dari pusat-pusat penyelidikan daerah itu langsung kepada
petani-petani. Dibutuhkanlah pusat-pusat Bibit setempat, zaad hoeve-zaadhoeve
yang masing-masing meliputi keluasan 10.000 ha atau 15.000.ha sawah.
Petani-petani harus dibangunkan perhatianya oleh pusat-pusat ini, harus
diinsafkan, di-“semangatkan” dengan propaganda, dengan penyuluh, dengan
Demonstrasi, petani-petani harus dilepaskan dari jenis-jenis padi yang kurang
manfaat, dibawa kepada jenis-jenis baru yang lebih manfaat, dibawa kepada
jenis-jenis baru yang lebih baik. Ini semuanya bukan pekerjaan kecil. Ini
semuanya meminta waktu dan ini semuanya meminta keringat. Jumlah pusat-pusat
yang demikian itu pada masa sekarang ini masih amat terbatas sekali, padahal
paling sedikitnya dibutuhkan 250 pusat- setempat, kalau bisa 300 pusat setempat.
Kalau kita bekerja keras, maka boleh diharapkan bahwa dalam waktu ± 6
tahun, dengan jalan demikian, sesuatu jenis yang baik dapat disebarkan antara
petani-petani diseluruh Indonesia, sehingga produksi padi diseluruh Indonesia
bertambah banyak. Insafkah engkau Pemuda-pemudi, betapa pentingya minat kepada
pengetahuan-pertanian bagi bangsa yang kekurangan makanan sebagai kita ini?
Disamping seleksi, aku tadi menyebutkan pemupukan. Juga dengan
Pemupukan kita dapat menambah produksinya Padi-padi basah kita, terutama sekali
pemupukan dengan pupuk-tiruan (Kunstmest) fosfat, dalam bentuk dubbel
Superfosfat atau enkel Superfosfat, ternyatalah amat menaikkan tingkat
Produksi. Ada sawah yang dengan pupuk fosfat itu bertambah hasil 5 quintal
se-ha, bahkan ada yang memberikan hasil tambah 10 quintal se-ha. kita sekarang
telah mengetahui, bahwa luasnya daerah sawah-sawah kita amat "dankbar"
kepada pupuk dubbel Superfosfat adalah beratus-ratus ribu ha sawah seperti
misalnya daerah-daerah tuf atau margel atau laterit di Banten Utara, Jakarta
Barat, daerah Cihea antara Cianjur dan Bandung, daerah Cirebon Timur, Cirebon
Barat, Jogya Barat, Solo Timur Laut, Madiun Utara, Kediri Utara, Pasuruan
Bangil, daerah Purwodadi, Lusi – Randublatung, Bojonegoro, Lamongan, Madura,
daerah Rapang di Sulawesi Selatan, daerah Bone dan Sulawesi Tengah, dan banyak
lagi daerah-daerah lain, yang semua total jumlahnya tak kurang dari 700.000 ha
sawah, yang, jikalau kita bekerja mati-matian memupuknya, dengan pupuk- tiruan
fosfat, total akan memberi hasil tambah tidak kurang dari 360.000 ton beras
tiap-tiap tahunnya. Tetapi pemupukan itupun belum berjalan sebagaimana
mestinya.
Dus: Dengan menanam jenis padi yang lebih manfaat, hasil- seleksi, kita
dapat memperoleh hasil-tambah 600.000 ton beras; dengan pemupukan sawah-sawah margel
atau tuf atau laterit dengan pupuk fosfat kita dapat memperoleh hasil-tambah
360.000 ton. Jumlah total: 960.000 ton, atau bulatnya 1 milyun ton. Sedangkan
jumlah tambahan beras yang kita butuhkan untuk menyelamatkan 83.000.000 orang
dalam tahun 1960 dengan dasar 1700 kalori seorang sehari saja ialah, sebagai
kuuraikan dimuka tadi itu, 1½ milyun ton, dus masih kekurangan lagi 1/2 milyun
ton. Dan jikalau kita masih bercita-cita menaikkan arbiedsprestatie rakyat kita
dengan memberikan makanan kepadanya 2250 kalori seorang sehari, maka ketekoran
kita itu malah masih 6,3 milyun ton satu milyun ton = 5,3 milyun ton!
Dari uraian saya diatas ini ternyatalah, bahwa tidak ada, Way Out
mutlak untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari bahaya kelaparan dan bahaya
kemusnahan, bilamana kita hanya menempuh jalan yang pada masa sekarang ini
lazim diusahakan, yakni hanya jalan seleksi dan hanya jalan pemupukan bagi
sawah-sawah yang sudah ada, dan ikhtiar memperluas daerah pertanian berupa
sawah, yang sebagai ternyata dimuka tadi, tidak mungkin kita perluaskan lagi secara
besar-besaran. Tidak, kita harus menempuh jalan lain juga, jalan yang hingga
kini masih dianak tirikan, yakni jalan mencurahkan perhatian kita juga pada pertanian
di tanah kering, di tanah ladang. pertanian pada tanah sawah memang masih
penting bagi kita, tetapi jelaslah bahwa pertanian disawah itu saja, tidak
memberikan Way Out mutlak kepada kita. Kita harus mencurahkan perhatian kita
secara simultan ya kesawah ya keladang. kita harus belajar tidak memandang
remeh kepada ladang. Kita harus berubah menjadi satu bangsa yang baru, juga
diatas lapang pertanian. Kita harus, mau tidak mau, menempuh jalan yang di
seluruh dunia ditempuh orang Eropah dan Amerika hidup di pertanian kering,
kenapa kita tidak memperhatikan pula pertanian kering, kita yang kini mengetahui
bahwa pertanian padi basah saja tidak memberi Way Out mutlak. Ketahuilah, bahwa
pertanian rakyat ditanah kering lebih luas dari pada pertanian di sawah-sawah.
Ini bukan saja satu kenyataan yang didapatkan di luar Jawa, tetapi juga satu
kenyataan di Jawa sendiri, yang telah penuh-sesak-padat penduduknya itu.
Sedangkan di Jawa luasnya sawah ± 3.384.000 ha, maka luasnya tanah kering yang
diusahakankan untuk pertanian adalah ± 4.500.000 ha. Diluar Jawa, luasnya
Pertanian tanah kering adalah ± 3.500.000 ha. Total tanah Pertanian kering
Diseluruh Indonesia adalah ± 8.000.000 ha.
Alangkah besarnya persediaan makanan kita, kalau
8.000.000 ha ini dapat kita berikan produksi yang lebih tinggi! Disini
ditanah-tanah kering inilah ,letaknya “Way
Out” mutlak yang kita cari! Tetapi apa lacur? Satu corak yang mencirikan
pertanian di ladang ialah , bahwa oleh pengusahanya sama sekali tidak dilakukan
syarat-syarat untuk mempertahankan kesuburan tanah. Satu-satunya usaha
menyuburkan tanah ialah terdiri dari menanduskan (memberokan) tanah itu
beberapa tahun lamanya sehingga tanah-kering tersebut ditumbuhi lagilah oleh
belukar atau hutan ringan, yang kemudian ditebang pula untuk diperladang.
Ketambahan lagi tanah-tanah kering itu tidak saja kehilangan kesuburanya,
tetapi diduga diserang oleh, bahaya erosi, sehingga pada akhirnya daerah
demikian itu merupakan satu Tanah mati, satu “stervend land” yang menyedihkan
sekali.
Cara pertanian yang demikian itu tak dapat dipertanggung-jawabkan lagi!
Cara-caranya harus diubah demikian rupa, sehingga kehilangan zat-zat tanah yang
perlu buat tanaman dapat dihentikan, dan tubuh tanah dipelihara, sehingga
kesuburan pulang kembali. Jangan menganggap remeh hal ini! Sebab, bilamana kita
tidak dapat mengembalikan kesuburan tanah-tanah ladang ini sehingga dapat
ditanami lagi dengan tanaman-tanaman makanan secara manfaat, bilamana kita
perbiarkan stervend land tetap stervend land, dan ladang-ladang stervend land,
maka perlengkapan bahan makanan bangsa kita niscaya akan roboh sama sekali,
akan lebur, akan hancur, ialah oleh karena “way out mutlak” kita dalam
persediaan makanan rakyat adalah justru terletak dalam tanah-tanah kering itu .
Dapatkah tanah kering menjadi sumber kemanfaatan? Dapat,
pemuda-pemudiku, dapat!
Asal kita, terutama sekali kamu, generasi muda, suka “Aanpakken” soal
ini dengan tetep, maka kita tak perlu berkecil hati! Kemungkinan dalam teknis
dan ilmu pertaniankan telah besar sekali! Tiga puluh tahun yang lalu, propinsi Noord
Brabant dan Valuwe di negri belanda yang tanahnya pasir yang amat miskin itu,
hanyalah dapat menghasilkan sedikit boekweit dan kentang dan rogge. Hanya
biri-biri kurus saja diternakan disana dalam jumlah yang kecil-kecil. Sekarang
berkat teknik pertanian tanahnya tak kurang suburnya. Semua tanaman dapat
dihasilkan di situ, Bunga-bunga yang indah menyegarkan mata, sapi-sapi yang
segemuk sapi Friesland terdapat disana dalam jumlah yang besar-besar. Ini semua
hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pelbagai balai-penyelidikan dalam waktu
10-15 tahun. Berkat rajinnya anak-negerinya, Berkat tepatnya cara pengolahan
tanah, berkat pemakaian pupuk-tiruan secara besar-besaran, maka mereka dapat
mengatasi kesukaran-kesukaran dalam menyelamatkan dirinya dari bahaya
kelaparan.
Mengapa kita di Indonesia tidak nanti dapat bertindak sedemikian juga?
Kita dapat bertindak sedemikian juga, dapat, dan aku tidak ragu-ragu akan hal
itu, asal kamu, generasi muda, suka bertindak, asal kamu suka belajar, asal
kamu nanti suka menjadi pelopor.
Pertanian tanah-kering kita ini dapat kita bikin menjadi
sungguh-sungguh manfaat, dengan melakukan empat ikhtiar yang kusebutkan dibawah
ini:
Pertama: Kita harus melakukan pemupukan. Tanah-tanah-ladang kita harus
dipupuk, baik dengan pupuk kandang, maupun dengan pupuk tiruan. Pupuk kandang
dibutuhkan, bukan saja oleh karena pupuk inilah yang termurah bagi petani,
tetapi juga oleh pupuk kandang dapat memperbaiki struktur tubuh-tanah. Kalau
pupuk ini masih kurang, tambahkan denga pupuk hijau. Dan kalau inipun masih
kurang, pakailah pupuk tiruan. Jangan berkata bahwa pupuk tiruan mahal!
Satu-satunya “way out” inikan harus kita tempuh, kalau kita sebagai bangsa
tidak mau mati. Lagi pula- semua pupuk-pupuk- tiruan yang di perlukan untuk
tanah-tanah kering kita itu, yaitu pada umumnya: Zwavelzure ammonia,
kaliumsulfat, dan dubbel suferfosfat, dapat dibikin di negeri kita sendiri dari
bahan-bahan yang ada di negeri kita sendiri. Ini sudah kita selidiki. Maka
kalau kita membikin pupuk-pupuk itu di negeri kita sendiri tak perlu kita
membelinya dari luar negeri. Tak perlu kita tergantung dari keadaan deviezen
lagi. Tak perlu kita tergantung dari keadaan politik di negara orang. Dan kita
lantas dapat menjalankan Pemupukan tanah-tanah-kering kita secara
besar-besaran. Ratusan ribu ha, Milyun-milyunan ha tanah kering menjadi tanah
yang menghasilkan produksi. Hancur-leburlah hantu kemiskinan zat dalam
tanah-tanah kering kita itu!
Kedua: kita harus menjalankan seleksi, khusus bagi tanah kering,
alangkah masih kosongnya Usaha seleksi bagi tanah-kering itu! Tentang seleksi
padi-gogo dapat dikemukakan, bahwa hal itu kini selalu diabaikan, selalu
dianak-tirikan. Semua tenaga sampai kini dicurahkan kepada seleksi pada sawah,
padi basah. Walaupun barangkali tidak mungkin menciptakan satu jenis pada gogo
baru yang sama sekali tanah kemarau, yaitu sama sekali droogteresistent, namun
toh kemungkinan untuk mendapatkan satu jenis-baru yang mendekati kebutuhan ini,
tidak masuk dalam lapangan kemustahilan. Dan selain dari pada padi? Jenis
kedele, jenis kacang tanah, jenis jagung, jenis canthel dan tanaman lain yang
bermanfaat bagi hidupnja rakyat, pun masih mengandung kemungkinan untuk
diperbaiki lagi dengan jalan seleksi. Tanah-kering harus di tanami dengan
tanaman yang tahan kering, dan nilai-khasiatnya harus dibuat sederajat dengan
nilai-khasiat padi, misalnya jagung, jawawut, kedele, kacang tanah, dan
lain-lain sebagainya lagi. Penggiatan seleksi bagi tanaman-tanaman tahan-kering
ini teranglah satu keharusan yang harus lekas kita penuhi !
Ketiga: kita harus Memperlipatgandakan Perhewanan ternak. Perternakan
adalah satu syarat mutlak untuk pertanian di tanah kering. Dari mana datangnya
pupuk kandang, kalau tidak dari ternak? Dari mana tenaga-tenaga penarik – trekkrachten
– Untuk perusahaan Pertanian itu, kalau tidak dari sapi atau kuda? Kecual itu,
adanya ternak memecahkan soal lalu-lintas, sehingga soal penggangkutpun ikut
terkupas oleh karenanya pula, dan terutama kuda
mendinamiskan manusia! Belum kita sebut disini manfaat besar yang datang
dari perternakan berkenan dengan kebutuhan zat putih-telur (eiwit) dalam
makanan rakyat! Telur ayam, telur itik, daging ayam, daging itik, daging
kambing, daging sapi, dan lain-lain sebagainya, membuat tubuh manusia menjadi
sehat dan kuat. Didalam pemakaian zat putih-telur yang berasal dari hewan,
Indonesia menduduki satu tempat yang teramat rendah. Hanya rata-rata 4 gram
kita makan seorang sehari! Sedangkan di Siam orang makan zat putih-telur 21
gram seorang sehari di Malaya 14 gram seorang sehari, di Indo China 17 gram
seorang sehari, di India 9 gram seorang sehari, di Filipina 25 gram seorang
sehari, di Cuba 29 gram seorang sehari, di Burma 32 gram seorang sehari. Sejak
penjajahan Belanda yang beratus-ratus tahun itu, kita telah menjadi satu bangsa
yang selalu sedikit makan zat putih dari hewan dan karenanya kita telah mejadi
stau bangsa yang lemah badan dan kurang dinamis. Di jamannya Sultan Agung
Hanyokrokusumo, maka menurut ceritanya Riycklof van Goes, seorang Belanda yang
menghadap di Keraton Sultan Agung di Kerta, di Ibukota Mataram itu tiap hari
disembelih orang 500 ternak yang besar-besar. Dan lihatlah dalam sejarah: Pada
waktu itu bangsa kita satu bangsa yang dinamis yang tangkas, yang ulet, yang
berani, yang gemar bekerja.
Keempat : Mekanisasi. Ini salah satu yang telah lama kucitakan dan
idam-idamkan. Pada umumnya luasnya pertanian di Jawa tidak melebihi 1 ha buat
tiap-tiap petani, dan 1 ha ini adalah terlalu sedikit, terlalu banyak untuk
mati “Te weinig om van televen, te veel
om van te sterven”. Didaerah Kolonisasi di luar Jawa pun petani rata-rata hanya mempunyai sawah
tidak lebih dari 1½ a 2 ha. Berapa sebenarnya harusnya milik tanah untuk hidup
cukup, hidup sentausa? Kalau tanah itu cukup subur, seperti halnya dengan
tanah-tanah yang sekarang didapatkan di luar Jawa, maka milik itu sebenarnya
harus sedikitnya 10 ha buat tiap-tiap petani. Tetapi sebaliknya, kalau ia
diberi 10 ha, maka ia tak mempunyai cukup tenaga untuk mengelola tanahnya itu.
Dengan sepasang sapi dan dengan bantuann anak istrinya serta seorang bujang, ia
paling banyak dapat menggarap 5 ha tanah. Di Limburg (Negeri Belanda) Petani
rata-rata mempunyai 20 ha, yang ia kerjakan dengan keluarganya serta seekor
kuda besar, dan di samping itu ia mempunyai 2-3 ekor sapi, 3-4 ekor babi, 100
ekor ayam. Bagaimanakah kita memecahkan soal kita ini, kalau kita mengingati,
bahwa kita kekurangan sapi, kekurangan kerbau, kekurangan kuda? Tidakkah
mungkin mekanisasi – kalau mungkin secara kollektif – membawa pemecahan dalam
soal ini?
Untuk mencoba pertanian secara mekanis, didaerah Kendari (Sulawesi) ada
siap-sedia 15.000 ha tanah kering yang datar dengan struktur tanah yang cukup enteng
untuk digarap dengan mesin. Pembahagian hujan seluruh tahun disana adalah
demikian ratanya, sehingga dua kali setahun daerah itu dapat menghasilkan panen
padi-gogo yang lumayan. Tidakkah baik kita coba Pertanian mekanis disana itu?
Pemuda-pemudi, akupun sering melayangkan angan-anganku mengenai
pertanian di tanah Jawa. Bilakah seorang pemuda atau pemudi Indonesia ahli ilmu
pertanian mendapatkan satu Jenis padi
kering – padi kering, bukan padi basah, yang rasa nasinya tidak kurang lezat
dari misalnya padi Bengawan yang kebal segala penyakit, yang dapat memberi
panen dua kali setahun? Ah, kalau Jenis padi-kering yang demikian itu terdapat,
kalau impedance ini terwujud, kalau segala padi basah bisa kita ganti dengan
padi-kering yang all-round itu, satu revolusi besar dapat kita jalankan di
lapangan pertanian padi! Kita bisa bikin petani – petani kita “collective
minded”, kita bisa buang segala pematang – pematang atau galangan – galangan,
kita coret sebagian terbesar dari pengeluaran-pengeluaran untuk irigasi yang
berpuluh-puluh milyun, kita bisa bekerja dengan tractor-tractor dan
mesin-mesin pengetam kita bisa bekerja chemis
besar-besaran, kita bisa pergunakan tenaga petani yang berlebih untuk
kerajinan-tangan atau nijverheid, kita bisa lemparkan banyak sekali tenaga
kerja kedalam industriliasasi di daerah-daerah kita yang harus di industrialisir!
Betapa hebatnya akibat revolusi pembangun yang demikian itu! Produksi bahan
makanan akan terbang naik keatas, nijverheid akan tumbuh dimana-mana,
industrialisasi akan tidak kekurangan tenaga manusai, dan mental, dalam
kedudukan jiwa, bangsa Indonesia akan berubah, akan bangkit sama sekali!
Hilanglah nanti segala sifat kepelanan, hilanglah segala sifat tak berdaya yang
menghinggapi petani-kecil, hilanglah segala kemak-kemikan japa-mantra dan kukus
kemenyan dan sesajen, hilanglah segala sifat jiwa kepedesaan, tumbuhlah jiwa kebrayaan
dan kerayaan yang luas, tumbulah jiwa natie yang lebar tumbulah jiwa Negara
yang melangkahi segala batas-batasnya desa dan lembah dan gunung dan lautan.
Terbangunlah satu bangsa Indonesia baru
yang badanya sehat-kuat karena cukup persediaan makan, yang jiwanya dinamis-tangkas-perkasa
karena terlepas dari ikatan-ikatan lama yang membelenggunya ribuan tahun !
Pemuda-pemudi sekalian! Pidatoku
hampir habis agak lama aku minta perhatianmu, tetapi tidak terlalu lama, oleh
karena soal yang kubicarakan ialah soal hidup atau mati, camkanlah dan
perhatikanlah: pada masa sekarang ini, Indonesia menghadapi satu bahaya
kelaparan yang tiap-tiap tahun datang kembali, tiap-tiap tahun tambah besar,
dan cepat akan merupakan satu bencana, satu malapetaka, kalau tidak kita
tanggulangi secara tepat. Bahwa Indonesia pada sekarang ini terpaksa membeli
beras dari luar negeri sebanyak 6 a 700.000 ton, besok 800.000 ton, lusa 900.000
ton ; bahwa disana-sini timbul penyakit hongerodeem; bahwa ditanah-air kita
yang indah-permai ini ada anak-anak kecil yang diangkut kerumah sakit oleh
karena periuk nasi dirumah adalah kosong, itu adalah sebenarnya satu tanda
ketidak-mampuan, “brevet van onvermogen” dari pada generasi sekarang yang tak
mampu mengenal dan memecahkan soal. Sebagai “mode” didatangkanlah pelbagai ahli
dari luar negeri, yang ya memang ahli,
tetapi yang disini masih harus belajar lebih dahulu. Tetapi ya, generasi
sekarang biarlah generasi sekarang. Tetapi engkau, engkau, pemuda-pemudi di
seluruh Indonesia, yang sekarang duduk di bangku bangku SMA, engkau adalah
generasi baru. Engkau adalah generasi yang akan datang! Engkaulah yang
bertanggungjawab atas nasib bangsamu di masa depan. Kita kekurangan kader
bangsa, terutama di lapangan pertanian dan peternakan. Aku bertanya kepadamu:
sedangkan rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam
waktu yang dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan
soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup dan mati,-- kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu kecil
minat untuk studie ilmu pertanian dan ilmu perhewanan? Kenapa buat tahun
1951/1952 yang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa bagi fakultet pertanian
hanya 120 orang, dan bagi fakultet kedokteran hewan hanya 7 orang? Tidak,
pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian dan kehewanan tidak kurang penting dari studie
lain-lain, tidak kurang memuaskan jiwa yang bercita-cita dari pada studie yang
lain-lain. Camkan, sekali lagi camkan, --- kalau kita tidak “aanpakken” soal
makanan rakyat ini secara besar-besaran secara radikal dan revolusional, kita
akan mengalami malapetaka.
Secepat mungkin kita harus membangunkan kader bangsa di atas lapangan makanan
rakyat kalau mungkin laksana cendawan di musim hujan. Secepat mungkin kita
membutuhkan paling sedikit 350 insinyur pertanain, 150 ahli kehutanan, ratusan
ahli seleksi, ratusan ahli pembanteras hama, ratusan ahli pemupuk, ratusan ahli
tubuh – tanah ratusan ahli irrigasi – pertanian – rakyat, ratusan ahli
kehewanan, --- dokter-dokter hewan dan ahli-ahli pemeliharan ternak.
Daftarkanlah dirimu nanti menjadi mahasiswa fakultet pertanian dan fakultet
kedokteran hewan! Jadilah pahlawan pembangunan! Jadikanlah bangsamu ini bangsa
yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat
apa kita Bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan
beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?
kalau misalnya peperangan dunia ke-III meledak, entah besok entah lusa, dan
perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Burma terputus karena tiada kapal
pengangkutan, --- dari mana kita mendapat beras? Haruskah kita mati kelaparan?
Buat apa kita membuang deviezen bermilyun-milyun tiap-tiap tahun untuk membeli
beras dari negara lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatganda produksi
makanan sendiri? Segala ikhtiar-ikhtiar kita menekan harga-harga barang di
dalam negeripun – sebagai yang telah kita alami – selalu akan kandas, selalu
akan sia-sia, selama harga beras periodik membubung tinggi, karena harga beras
memang menentukan harga barang yang lain-lain. Politik bebas, prijsstop,
keamanan, masyarakat adil dan makmur, “mens sana in corpore sano”, --- semua
itu menjadi omong kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan selama tekort
kita ini makin lama makin meningkat selama kita hanya main cynisme saja dan
senang cemooh-mencemooh, selama kita tidak bekeja keras, memeras keringat
mati-matian menurut plan yang tepat dan radikal. Revolusi pembangunan harus
kita adakan. Revolusi Besar diatas segala lapangan, Revolusi Besar dengan
segera, tetapi paling segera diatas lapangan persediaan makanan rakyat. Dan
kamu pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, kamu harus menjadi pelopor dan
pahlawan revolusi pembangunan itu! Janganlah bangsa menyesal di hari yang akan
datang.
Denga ucapan itulah, saja nanti meletakan batu pertama dari gedung fakultet
pertanian ini.
Sekian ! Terima kasih !
Sumber: http://ngelmu-urip.blogspot.com.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar