Rabu, 20 Mei 2015
Oleh: Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
CERITERA mengenai kualitas Beras Miskin (Raskin)
yang buruk yang dibagikan oleh Bulog sejak akhir tahun 2014 telah menurunkan
citra Bulog sebagai badan andalan yang mengurus pangan rakyat. Sampai sekarang
isu beras busuk yang didistribusikan oleh Bulog belum surut. Bahkan Bulog
dituduh lalai melakukan pembelian beras petani dan terlambat dalam menetapkan
HPP (Harga Pembelian Pemerintah).
Sikap Bulog yang
tidak tanggap serta keliru dalam mengantisipasi pasar dan produksi ini juga
dicurigai bukan tidak disengaja. Akibatnya muncul anomali yang fenomenal bahwa
pada saat berlangsung panen, harga beras justru mengalami kenaikan. Sementara
stock beras Bulog tidak maksimal, karena tidak melakukan pembelian beras/gabah
yang signifikan.
Bagi pengamat
pangan sangat mudah menarik kesimpulan mengapa hal ini bisa terjadi.
Peristiwa-peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada kesengajaan Bulog digiring
untuk melakukan impor kembali. Jika hal ini terjadi, maka paradigma Bulog
memang belum berubah. Bulog masih akan dijadikan sapi perah oleh para penguasa
dan oknum-oknum birokrat nakal.
Untuk
mengembalikan Bulog dapat berperan dalam memperkuat sektor pangan sebagai basis
membangkitkan ekonomi nasional, perlu beberapa perubahan. Pertama, menegaskan paradigma pangan sebagai poros dalam
kebangkitan ekonomi nasional. Kedua,
menjamin pasokan dan ketersediaan pangan/beras dengan memperkuat program on farm. Ketiga, peningkatan kinerja dengan mengurangi inefisiensi dan
menerapkan good governance secara
serius. Keempat, mengembangkan dan
memberdayakan IT untuk memperkuat informasi persediaan beras, penyaluran beras,
dan pemantauan harga.
Paradigma pangan sebagai poros
kemajuan ekonomi
Setelah merdeka
pada umumnya setiap negara meyakini bahwa mereka harus mampu mencukupi
kebutuhan pangannya sendiri. Oleh karena itu pertanian menjadi program
prioritas dalam pembangunannya. Bung Karno ketika meresmikan Institut Pertanian
Bogor (IPB) tahun 1952 mengatakan: “Pangan merupakan soal mati-hidupnya bangsa.
Apabila kebutuhan pangan tidak dipenuhi akan menjadi malapetaka. Oleh karena
itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”.
Negara-negara yang
menjadi maju karena berbasis pertanian misalnya Selandia Baru, Eropa, Amerika
Serikat, Jepang, Thailand, Cina, Korea Selatan. Mereka bukan hanya sadar
tentang peran pertanian atau pangan sebagai modulator pembangunan ekonomi,
tetapi juga melakukan transformasi yang tepat dari pertanian menjadi industri.
Bahkan negara-negara maju yang sukses membangun pertanian sebagai basis awal
pertumbuhan ekonomi mereka, mengembangkan pertanian (agriculture) menjadi industri.
Namun pertanian
di negara berkembang umumnya tidak dilaksanakan berdasar paradigma yang jelas.
Andaikata paradigma pertanian mereka jelas pun, tetapi selalu ada kekacauan dan
inkonsistensi di tingkat makro ekonomi dan implementasi. Karena itu jika
Indonesia pada tahun 1984 bisa mewujudkan swasembada beras, mengalami surplus,
dan dapat melakukan ekspor dengan produksi beras sebesar 25,5 juta ton,
sekarang kenyataan itu terbalik. Indonesia saat ini justru menjadi pengimpor
pangan terbesar di dunia dalam bentuk beras, jagung, gandum, kedelai, gula,
buah-buahan, bawang putih, ikan; bahkan garam.
Kebijakan makro
dan mikro ekonomi tidak pernah konsisten. Transformasi peradaban Indonesia tidak
terjadi, karena bangsa Indonesia masih menjadi suku bangsa pengumpul dan peramu
serta belum menjadi bangsa pengolah. Walau kebijakan managerial dan teknis
penyelenggaraan pangan terlihat “maju”, namun paradigma pangan kita masih
mengulangi kerapuhan logistik yang dialami Sultan Agung pada saat menyerang VOC
ke Batavia.
Kita pun masih
berorientasi pada ketahanan pangan dan kecukupan pangan, serta belum beranjak
menuju kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Penguasa yang mempengaruhi
kebijakan pangan masih didorong oleh semangat kompradorisme, yakni lebih
memihak produk asing daripada produk dalam negeri. Padahal pengalaman krisis
pangan di Somalia, Ethiopia, dan Kenya dengan defisit pangan 20 persen yang
berlangsung selama 3 bulan berturut-turut bisa menyebabkan negara-negara
tersebut punah kalau tidak segera ditolong oleh PBB.
Saat ini
kelaparan melanda 60 persen bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik. Indonesia
merupakan negeri yang paling rentan, karena 90 persen rakyatnya menyantap
nasi/beras. Semua masalah ini hanya bisa dijawab jika Indonesia dengan yakin menetapkan
paradigma kedaulatan pangan sebagai poros kebangkitan ekonomi di tingkat makro
yang ditindaklanjuti dengan program-program yang konsisten ditingkat mikro.
Menggalakkan on-farm
Sejak dahulu
impor menjadi alternatif saat pasokan dan cadangan beras menurun serta harga
beras naik. Tetapi di lain pihak impor beras dalam sejarah Bulog selama ini
telah dijadikan ladang korupsi ketika Bulog diposisikan sebagai ATM dari para
penguasa. Di samping itu adanya disparitas harga beras impor dengan harga dalam
negeri telah menyisakan margin yang aman untuk dimanipulasi dan dikorupsi.
Karena itu, maka
impor yang dilakukan sebagai upaya yang bersifat imanen lama-kelamaan bisa
merupakan program permanen dengan menyiapkan argumen dan syarat tertentu.
Korupsi beras impor telah menimbulkan efek reperkusif, yakni para oknum
menciptakan kondisi-kondisi tertentu sehingga memenuhi syarat untuk melakukan
impor. Gejala ini terlihat ketika Bulog mulai ogah-ogahan menyerap beras dari
petani atau menunda mengumumkan HPP.
Lingkaran setan
ini harus diretas dengan halan menjaga agar pasokan dan stok beras dalam negeri
mencukupi, sehingga harga beras tetap stabil tanpa perlu melakukan impor.
Solusi konvensional dengan menggalakkan program intensifikasi dan
ekstensifikasi tidak lagi memadai. Program on
farm Bulog yang selama ini dilakukan dianggap tepat karena mampu mengurangi
kesenjangan antara asumsi permintaan dan pasokan yang diprediksi.
Kegiatan on farm dapat memupuk motivasi,
optimisme, dan kualitas sumber daya manusia petani melalui proses supervisi dan
pendampingan yang dilakukan Bulog. Ke depan, kegiatan on farm ini bisa dijadikan pemodelan bagi Bulog untuk mendapatkan
data-data empirik faktual tentang ketersediaan lahan, kesuburan tanah, biaya
produksi, kebutuhan hidup petani, ketersediaan saprotan, teknis pertanian,
tata-niaga pertanian lokal, dan lain-lain. Pendampingan terhadap kegiatan on farm secara tidak langsung
meningkatkan komunikasi, hubungan emosional, dan kepercayaan petani terhadap
Bulog.
Untuk memastikan
ketersediaan beras dan menghindari impor beras, serta terwujudnya kedaulatan
pangan, program on farm yang merupakan
pengembangan program jaringan semut Bulog dapat menghimpun gabah/beras dari
kelompok tani dan Gapoktan yang akan diolah oleh unit pengolahan gabah/beras
(UPBG). Dengan cara ini Bulog memperoleh kepastian karena mengetahui aliran tata-niaga
dari hulu ke hilir.
Pola on farm dilaksanakan sesuai dengan
kondisi setempat meliputi sub kegiatan melakukan pembelian dengan harga
mengikuti setempat, melakukan pasca panen bersama UPGB setempat, melakukan
pendampingan dan pengawalan teknis budidaya, dan menjamin ketersediaan saprodi berupa
benih bersertifikat dan pupuk yang cukup. Beberapa model on farm yang dikembangkan saat ini memungkinkan semua produsen
beras dapat melibatkan diri melalui tiga jenis on farm, yakni On farm
Mandiri, On farm Kemitraan, dan On farm Sinergi.
Memberdayakan Integritas Pelaku di
Lingkungan Bulog
Walaupun Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah tercantum pada Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR No XI/MPR/1998) yang dikeluarkan paska
reformasi, tetapi KKN tidap pernah surut di Indonesia. Bahkan tindak pidana
korupsi, yang merupakan kriminalitas luar biasa (extraordinary crime), telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Kehadiran KPK ini ternyata tidak mengurangi intensitas
pembocoran uang negara di berbagai lembaga negara.
Hukuman yang
diberikan kepada koruptor, dalam situasi korupsi telah membudaya saat ini,
tidak memiliki efek jera yang signifikan. Apalagi masyarakat kita bersifat
permisif terhadap korupsi. KPK dalam kajiannya tentang korupsi yang terjadi di
Bulog merekomendasikan perlunya konsolidasi organisasi untuk menempatkan
pejabat-pejabat yang bersih dan menyingkirkan pejabat yang terindikasi korupsi.
Gagasan
pembubaran Bulog muncul, karena kebijakan-kebijakan yang dilatar-belakangi oleh
perilaku korup semakin menguat. Ada beberapa anomali dari kebijakan Bulog akhir-akhir
ini, misalnya tidak menetapkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) menjelang musim
panen. Selain itu Bulog juga tidak melakukan pembelian saat musim panen tiba.
Celakanya, walau surplus beras pada musim panen terjadi, harga beras justru
mengalami kenaikan.
Kenaikan harga
beras ini bisa dipastikan tidak akan dinikmati petani, pasalnya keadaan ini
diciptakan sebagai bagian dari jebakan agar pemerintah melakukan impor. Kita
tahu bahwa modus korupsi yang terbesar sebelumnya di Bulog adalah dari impor
beras. Korupsi pada setiap transaksi yang dilakukan Bulog ini merupakan
konsekuensi logis dari budaya politik makro. Dalam hal ini BUMN masih dijadikan
sapi perah dari penguasa yang berkolaborasi dengan para mafia.
Jika Bulog akan
diposisikan sebagai poros dalam kebangkitan ekonomi nasional, maka pelaksanaan good governance tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Sebenarnya tata-kelola Bulog selama ini sudah dikembangkan berbasis pada good governance. Tetapi dalam prakteknya
prinsip-prinsip tersebut tidak terwujud, karena sistem pengawasan,
pengendalian, monitoring, dan evaluasi yang lemah.
Selain kelemahan
tersebut, jika pimpinan Bulog masih ingin menjadikan Bulog sebagai profit center atau sapi perah bagi
kelompok politiknya, maka penyelewengan di tingkat bawah akan merebak dengan
pesat. Agar tidak terjadi skandal “Bulogate” baik dalam skala besar maupun
kecil, maka penegakan “good governance”
secara praxis dan kontektual beserta pemberian sangsi atas pelanggarannya harus
dibangun. Dengan cara ini diharapkan KKN di lingkungan Bulog dapat ditekan
semaksimal mungkin.
Mengembangkan dan Memberdayakan IT
Teknologi
Informasi (IT) di lingkungan Bulog sudah dikembangkan sedemikian rupa dalam
rangka mendukung tata-kelola dan tata-niaga di lingkungan Bulog. Tetapi
kelemahan utama dari setiap sistem IT adalah karena tidak dilengkapi dengan
sistem untuk mengawasi dan menguji apakah informasi yang dimasukkan valid dan
benar. Pengawasan dan pengujian tersebut termasuk pemenuhan syarat-syarat dan
prosedur dalam data processing.
Dengan cara ini
maka sistem IT dapat bermanfaat untuk mencapai tujuan yang baik dan benar.
Dengan demikian IT tidak justru digunakan sebagai alat untuk melakukan
manipulasi data dan informasi. Hal ini mengingat bahwa Bulog seharusnya
memiliki pusat data pangan sendiri yang kredibel.
Bulog tidak dapat
mengandalkan data dari pihak lain, karena dalam memutuskan kebijakannya Bulog
membutuhkan ketepatan dan kecepatan dalam memperoleh data dan informasi.
Walaupun ada kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendapatkan
data dan informasi, tetapi akurasinya masih diragukan. Apalagi data dan
informasi dari Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian Agraria dan
Tata Ruang juga sering kontroversial.
Data dan informasi
tersebut seharusnya bisa dikembangkan menjadi peta GIS untuk menentukan
kebijakan Bulog yang dinamis dalam mengantisipasi dinamika pasar, harga, dan
stock. Tetapi sayang hal ini tidak dikembangkan, karena dalam sistem yang korup
validitas dan kebenaran data tidak diperlukan. Sebagai contoh, stasiun IT
pemantau ekspor-impor minyak PERTAMINA justru dilumpuhkan terlebih dahulu sebelum
tindakan-tindakan koruptif dilakukan di sektor BBM.
Pusat Data Pangan
Bulog terutama harus didedikasikan untuk tiga sub-sistem penting di Bulog,
yakni aplikasi informasi untuk pembelian dan persediaan beras, penyaluran
beras, dan pemantauan perubahan harga. Ketiga sub-sistem ini merupakan
penunjang utama dari tugas dan fungsi Bulog dalam menjamin stock dan stabilitas
harga secara handal. Tugas dan fungsi Bulog ini sangat penting agar faktor
pangan sebagai basis dalam menciptakan stabilitas sosial, politik, dan ekonomi
tetap terjaga.
Sistem IT yang
baik juga dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja organisasi, misalnya dalam
mengarahkan, menginstruksikan, mengendalikan, dan memantau kinerja di pusat
maupun di daerah. Melalui IT, maka Bulog dapat memformulasikan kebijakan yang
cepat dan tepat serta memonitor sejauh mana kebijakan telah diimplementasikan
di tingkat bawah atau daerah. Diharapkan pangan sebagai hajat hidup orang
banyak tetap dikuasai negara melalui Bulog yang telah direvitalisasi.
Kehadiran Bulog
ini sangat penting agar pangan tidak diliberalisasi, sehingga menyulitkan
warga, petani, dan menghancurkan sendi-sendi pertanian dalam negeri. Bulog
harus dijadikan lokomotif dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan dan poros dalam
kebangkitan ekonomi.***
Penulis
Adalah:
Pemerhati Ekonomi Pertanian dan Dewan Air
Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar