Sabtu, 27 Juni 2015
Jakarta_Barakindo- Berdasarkan analisis intelijen, isu-isu ataupun peristiwa yang terkait
dengan kebobrokan Bulog sudah bisa disebut dengan upaya sabotase untuk
mendiskreditkan pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, masalah-masalah tersebut bukan lagi persoalan manajemen atau
tata-laksana, namun terindikasi merupakan bagian dari operasi intelijen pihak lawan. Salah satu persoalan yang menonjol adalah beras plastik dan pencampuran bahan kimia dalam beras.
Sabotase tersebut diperkirakan dilakukan untuk
menghancurkan citra pemerintah Jokowi-JK yang mengangkat kedaulatan pangan sebagai fokus
dari program-program kerjanya. “Mendatangkan beras plastik, mendistribusikan, dan mempublikasikan
ke publik,
merupakan kegiatan yang disengaja dan terorganisir. Kejahatan semacam ini belum
pernah dialami oleh Bulog sebelumnya”, demikian dikatakan, Ketua Forum Nasional
Relawan Indonesia (FNRI), S. Indro Tjahyono, kepada Barak Online Group, Jumat (26/6/2015).
Di Gegesik Kabupaten Cirebon, katanya, ditemukan beras
yang dicampur dengan pupuk urea. Pencampuran yang dilakukan di penggilingan itu
bisa saja bertujuan sebagai bleaching
atau pemutihan beras. Tetapi kemungkinan itu sangat kecil, karena semua orang tahu, bahwa bahan yang
digunakan untuk pupuk itu berbahaya jika dikonsumsi.
Di samping beras plastik dan beras yang dicampur dengan
urea, lanjut mantan aktivis
mahasiswa yang pernah mengecam pahitnya perjuangan era Orba itu, sebelumnya ada kebijakan Bulog yang sangat berbahaya, yakni beras raskin yang
tidak layak dikonsumsi dan di bawah standar mutu, tetap dibagikan. Beras tersebut di samping
warnanya berubah dan secara fisik rapuh, juga berulat dan sangat berbahaya bagi kesehatan jika dimakan.
Indro Tjahyono menjelaskan, pembagian beras raskin di bawah mutu adalah cara
yang efektif untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap Jokowi yang sejak
kampanye gemar membagikan beras kepada korban bencana. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan
Bulog yang serba keliru terindikasi
dilakukan dengan sengaja.
"Selama
ini, ada beberapa kebijakan Bulog yang janggal, misalnya tidak
mendistribusikan raskin pada saat paceklik. Bagitu pula pada saat panen tidak segera menetapkan HPP agar bisa maksimal menyerap gabah/beras petani nasional," katanya.
Ia menambahkan, HPP yang dikeluarkan pemerintah melalui Inpres No 5 Tahun 2015 dinilai
masih rendah dan tidak optimal menyerap beras petani. Hal ini disebabkan karena
pemerintah menetapkan harga tunggal untuk menyerap beras. Apalagi penetapan
kadar air 14 persen dinilai sulit dicapai oleh petani.
Hal lain, katanya lagi, kebijakan Bulog yang dinilai paling janggal adalah pada saat Bulog melakukan operasi
pasar, tetapi pada saat yang sama Bulog melakukan penyerapan beras petani. "Kami menduga ada
oknum-oknum tidak bertanggung-jawab yang memberi input yang salah tentang
pertanian dan pangan kepada Presiden, sehingga Presiden mengeluarkan pernyataan yang keliru,
bahwa hasil panen kedua lebih banyak dari panen pertama. (Redaksi)*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar