Minggu, 28 Juni 2015


Jakarta_Barakindo- Jika Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Lenny Sugihat, dilengserkan dalam tempo 5 bulan, maka itu bisa dimaklumi. Sebab, bisa saja penggantian itu diakibatkan oleh ketidak-mampuan Lenny memainkan peran sebagaimana mestinya. Namun, jika baru 2 bulan Dirut yang baru sudah mulai menghela napas panjang dan bersiap-siap untuk hengkang, maka itu baru masalah yang sebenarnya.

Koordinator Front Nasional Relawan Indonesia (FNRI), S Indro Tjahyono menuturkan, hal itu bisa dipahami mengingat kerusakan Bulog sebagai otoritas yang paling kompeten di bidang perberasan, sudah bersifat sistemik.

“Semua subsistem dan  komponen organisasi sudah disabot oleh para aktor yang selama ini bermain. Organ-organ dalam Bulog telah digrogoti oleh perilaku korup yang kronis, mulai dari proses pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian,” ujarnya.

Kata S Indro, permainan yang disinyalir melibatkan semua pejabat Bulog itu, adalah konsekuensi dari banyaknya transaksi yang berlangsung dalam badan tersebut. “Mulai dari bunga pinjaman, selisih harga, penjatahan, kadar air, timbangan, butir patah/menir, transportasi, kepangkatan, sampai promosi kepangkatan/jabatan ditransaksikan dan menjadi ajang korupsi. Tidak aneh jika KPK merekomendasikan 50 persen pejabat BULOG harus direposisi,” katanya.

Sebagai sebuah lembaga, lanjutnya, Bulog sudah kehilangan kekuatan pengendaliannya (controlling power). Hal itu terjadi, lantaran semua orang, baik di dalam maupun dari luar, sepakat mengeksploitasi tugas dan fungsi Bulog sebagai penjaga stok dan stabilitas harga. “Mereka secara kolektif menjadi parasit yang secara langsung dan tidak langsung membusukkan dan menghancurkan Bulog,” jelas Ketua Gerakan Rakyat Tanpa Partai (Getar) tersebut.

Seperti BUMN lain, semacam PLN, katanya, kebijakan-kebijakan Bulog justru dikendalikan oleh pihak luar atau para vendor, yang dalam hal ini adalah mafia beras/pangan. Sementara pucuk pimpinan Bulog mengendalikan kebijakan impor dan pendanaan. Oleh mereka, lanjutnya, Bulog bisa dibuat harus tetap melakukan impor dan mendapat pinjaman dari bank tertentu untuk pengadaan beras, tentunya dengan tingkat suku bunga yang “diatur”.

“Apa yang dialami Bulog, persis seperti yang terjadi pada Pertamina periode 1970-1990 yang digrogoti dari luar dan dari dalam. Kebocoran akibat korupsi dalam tubuh Pertamina sangat fantastis. Akibatnya Pertamina tidak mampu mempertahankan statusnya sebagai produser, tetapi sekedar menjadi trader,” ujar pengamat bidang pangan yang juga kordinator relawan pemenangan Jokowi-JK tersebut.

Bahkan, tambahnya, ketika memerankan sebagai trader melalui  anak perusahaannya di Singapura, Petral, ekonomi negara justru dihancurkan oleh Pertamina. BBM dipaksa terus disubsidi, sehingga membuat APBN mengalami defisit secara permanen. Kondisi Bulog dengan Petral tidak berbeda jauh, karena terus menerus memposisikan diri sebagai beban bagi ekonomi pemerintah.

“Saatnya pemerintah waspada terhadap kondisi Bulog. Akrobat dalam penunjukan Dirutnya merupakan indikasi, bahwa Bulog sudah terserang penyakit stroke dan layak dimasukkan ke ruang ICCU.  Penanganan Bulog harus dilakukan secara extra-ordinary.  Sebab, jika kinerjanya terus jeblok, maka Bulog pantas dipetralkan oleh pemerintah,” tandasnya. (Redaksi)*

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori Berita

Recent Posts


Statistik Pengunjung